Di antara kokohnya gemunung menjulang yang telah menungguku bertahun lalu aku terus menyusuri jalan ini dengan iringan nyanyian mendayu ranting pepohonan tepi hutan Semeru. Aku terus berjalan walau tak ada lagi lambaian tangan seperti kala kutinggalkan negeri ini. Birunya langit pun masih diam membisu terpaku memandangku tanpa rindu.
Aku hanya diam dan terus melangkahkan kaki ini untuk membuang rindu di relung hati yang terus mengajakku menyusuri waktu yang telah berpuluh tahun berlalu. Kini kenangan itu datang kembali mengajakku untuk tak malu berjalan dalam sunyi di negeri yang tetap kunanti.
Masih melayang dalam ingatanku kala pagi bersama Yatno mengayu sepeda di tepi telaga di bawah bukit itu. Lalu mandi bersama Tarno, Atim, dan Siman di tengah telaga yang jernih dan segar. Tak peduli Mbak Sri dan Lik Mah mencuci di sebelah kami yang terus berkecipak air sambil bernyanyi teriakan keceriaan kami.
Pakdhe Samiran pun terus menggosok dekil badannya selepas memandikan sapi di sebelah Mbok Yah yang terus mencuci jarit dan pakaian cucunya. Di bawah rumpun bambu tepi telaga Mbah Yem dan Mbok Ma yang memetik kangkung hanya sekali waktu melirik kami yang tak bosan bersahabat dengan air.
Senyum tawa kami, anak-anak negeri sunyi terus menderu di sunyinya telaga yang tak pernah berdecak membawa petaka selain melantunkan gemriciknya pancuran bambu di sudut sana. Buaian lembut dari angin gunung yang mengajak prenjak bernyanyi bersama kepodang dan tekukur terus menemani hingga bedug bertalu.
Sejenak daun putik akasia hinggap di alisku, menyapa dan membuka hati menutup kenanganku. Di depan mata Semeru menantiku dan kokok ayam hutan menyapaku.
Di lereng bukit kutatap negeri onar di bawah sana dan kubisikkan lembut 'aku sudah pulang di negeri sunyi'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H