Kaldera Bromo sisi tenggara, selatan, dan barat daya adalah wilayah yang subur dengan vegetasi terluas dan terbanyak berupa rerumputan dan adas. Sedang di pinggir perbukitan dan lembah ada jenis pinus, waru gunung, cemara, dan akasia hutan.
Luas hamparan rerumputan berdasarkan hitungan penulis lewat aplikasi smartphone sekitar 10 km persegi. Di wilayah timur hingga utara kaldera Bromo merupakan lautan pasir dengan sedikit gundukan rumput yang terbawa angin atau banjir.Â
Tidak adanya rerumputan di sini karena abu vulkanik yang keluar dari Bromo yang mengandung belerang secara alamiah terbawa angin ke arah timur dan utara sehingga tanaman tak bisa tumbuh.
Karena keadaan seperti inilah, masyarakat Suku Tengger yang ada di wilayah Cemoro Lawang dan Ngadisari, Probolinggo jika mencari rumput harus menuju ke tenggara dan selatan yang jaraknya sekitar 8 -- 11 km. Ada yang menempuh dengan berjalan kaki, naik sepeda motor, atau pick up.Â
Jika cuaca cerah tanpa hambatan berarti kecuali motor ngadat atau ban bocor, namun jika mendung apalagi hujan nyawa menjadi taruhan karena jebakan lumpur dan sambaran petir.
Pada musim penghujan wilayah adasan atau padang rumput ini begitu hijau. Namun pada saat musim kemarau wilayah ini begitu kering dan tampak menguning dan jingga bahkan merah seperti Mars. Keadaan kering kerontang seperti ini biasanya berlangsung antara Juli hingga Oktober.Â
Sehingga membuat para pemilik ternak sangat kekurangan pakan. Sedangkan di sekitar ladang mereka yang amat subur, tidak ditanami rumput jenis apa pun karena secara ekonomis lebih menguntungkan ditanami kentang.
Keringnya padang rumput seperti ini membuat kaldera mudah terbakar dengan sulutan api sekecil apa pun. Dan setiap tahun selalu terjadi. Tahun 2002 sempat terlontar dari pemangku jabatan kehutanan yang mengatakan terbakarnya wilayah tersebut karena sengaja dibakar sendiri oleh masyarakat di sana agar rumput yang kering segera habis dan tumbuh lagi atau trubus tunas baru yang dapat dipetik untuk pakan ternak.Â
Berdasarkan pengamatan penulis, kejadian ini sebenarnya bukanlah suatu kesengajaan sepenuhnya tetapi akibat putung rokok yang dibuang para pencari rumput. Bahkan kemungkinan lain adalah akibat dari pengunjung atau pendaki yang membuat perapian untuk menghangatkan diri kala malam yang dingin membeku. Ini terbukti dari gerak api yang menjalar dari ketinggian bukit Bantengan turun ke arah bawah menuju kaldera.Â
Wilayah Bantengan merupakan jalur perjalanan menuju ke Ranu Pani dan Semeru. Jika jalur api dari bawah atau kaldera menuju ke atas atau Bantengan maka kemungkinan sengaja dibakar oleh warga atau pencari rumput adalah benar. Namun sekali lagi faktor pengunjung yang jail bisa saja terjadi. Kebakaran semacam ini memang sangat berbahaya, karena bisa merembet ke wilayah hutan yang akan merusak kehidupan flora dan fauna di sana.
0 0 0 0 0
Sama halnya rerumputan kering yang mudah terbakar, demikian juga masyarakat akar rumput yang kehidupannya sering terkait atau dikait dalam keadaan kering pengetahuan dan pendidikan akan mudah sekali tersulut atau disulut api perselisihan dan pertentangan yang dinyalakan oleh mereka yang tidak puas atas keadaan dan ingin segera mendapat keuntungan dalam tatanan atau keadaan masyarakat baru yang mereka harapkan sekalipun jauh dari etika dan norma kehidupan yang damai.
Sulutan tak selalu dengan lontaran isu-isu panas secara terbuka lewat pernyataan politis yang membakar emosi. Tetapi juga lewat hembusan bisik-bisik yang mendiskreditkan pihak lain melalui pribadi-pribadi yang telah dicetak sedemian rupa.Â
Bisik-bisik ini dilakukan di kerumunan massa seperti pasar, terminal, tempat petani istirahat, bahkan ibu-ibu PKK, kegiatan ibadat, bahkan saat ada seminar atau workshop oleh sebuah komunitas tertentu. Pembisik ini bukan hanya kaum terdidik tetapi juga oleh tukang parkir atau preman kampung dan jalanan yang hanya bertindak okol daripada akal.
Selama dua bulan terakhir, penulis mengalami dan merasakan bagaimana kejadian seperti itu ada di pasar, tempat para ibu mandi dan cuci di pinggir sungai dan telaga. Di pinggir sawah dan pasar, di jalanan kampung dan desa saat warga sedang istirahat sepulang dari ladang.Â
Mereka mengawali misalnya dengan menawarkan kaos, kalender, tapi ada juga yang langsung hantam kromo alias tembak langsung seperti yang dilakukan preman kampung atau mereka yang telah dibayar.
Tingkah pola dan cara semacam inilah yang bisa membuat masyarakat akar rumput tersulut dan terbakar. Apalagi ketika para tokoh yang seharusnya menjadi teladan justru terbawa arus ambisi pribadi dan kelompok untuk berkuasa. Dan ketika kemenangan menjadi sebuah obsesi tanpa melihat kenyataan sebenarnya maka fatamorgana kemenangan menjadi sebuah pendangan semu yang memabukkan.Â
Buaian bisik-bisik menjadi gaung dalam pikiran yang kalut. Maka untuk menutupinya harus dengan topeng yang menipu diri sendiri dan orang lain yang kering pengetahuan dan pendidikan politis sebagai warga negara.
Akankah masyarakat akar rumput kering ini terus dibakar emosinya daripada menyirami dengan kesejukan ujaran dan tuntunan yang menumbuhkan kembali kesuburan di bumi pertiwi ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H