0 0 0 0 0
Sulutan tak selalu dengan lontaran isu-isu panas secara terbuka lewat pernyataan politis yang membakar emosi. Tetapi juga lewat hembusan bisik-bisik yang mendiskreditkan pihak lain melalui pribadi-pribadi yang telah dicetak sedemian rupa.Â
Bisik-bisik ini dilakukan di kerumunan massa seperti pasar, terminal, tempat petani istirahat, bahkan ibu-ibu PKK, kegiatan ibadat, bahkan saat ada seminar atau workshop oleh sebuah komunitas tertentu. Pembisik ini bukan hanya kaum terdidik tetapi juga oleh tukang parkir atau preman kampung dan jalanan yang hanya bertindak okol daripada akal.
Selama dua bulan terakhir, penulis mengalami dan merasakan bagaimana kejadian seperti itu ada di pasar, tempat para ibu mandi dan cuci di pinggir sungai dan telaga. Di pinggir sawah dan pasar, di jalanan kampung dan desa saat warga sedang istirahat sepulang dari ladang.Â
Mereka mengawali misalnya dengan menawarkan kaos, kalender, tapi ada juga yang langsung hantam kromo alias tembak langsung seperti yang dilakukan preman kampung atau mereka yang telah dibayar.
Buaian bisik-bisik menjadi gaung dalam pikiran yang kalut. Maka untuk menutupinya harus dengan topeng yang menipu diri sendiri dan orang lain yang kering pengetahuan dan pendidikan politis sebagai warga negara.
Akankah masyarakat akar rumput kering ini terus dibakar emosinya daripada menyirami dengan kesejukan ujaran dan tuntunan yang menumbuhkan kembali kesuburan di bumi pertiwi ini?