Padepokan Seni Mangun Darmo yang beralamat di Jalan Mangun Darmo, Dukuh Kemulan Desa Tulus Besar Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang bukan hanya tempat pelatihan dan pengembang seni tari tradisional khususnya tari topeng Malang, tetapi juga tempat belajar para pemerhati dan peneliti tentang bab seni dan kebudayaan yang menyangkut sejarah Malang yang berkaitan dengan kearifan lokal Malang.
Ki Sholeh Adi Pramono selaku pandhega padepokan akan menerima dengan tangan terbuka bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan belajar atau sekedar nguri-uri bahkan hanya untuk bertamu dan menginap di sana. Untuk itulah, tiga kompasianer yang ingin menjelajah wilayah Suku Tengger di Bromo kami ajak menginap di padepokan ini.
Kamis, 28 Maret 2019 setelah menjelajah, jam 5 sore kami sampai di padepokan dengan badan cukup loyo namun tetap penuh gembira. Setelah istirahat sebentar, jam 6 sore kami diundang makan nasi kuning tumpeng bersama. Sambil menikmati sajian yang ada, Mas Supriyono menabuh gender dengan lamat-lamat (lembut) sedang Mas Sholeh sendiri menggesek rebab atau biola Jawa mengajak sesekaran atau melantunkan tembang-tembang macapat.
Sebagai nyonya rumah, tentu saja Lilik Sinden yang mengawali walau dengan sedikit kaku karena sudah hampir dua tahun tidak tampil kolaborasi dengan Mas Sholeh sejak Ruwatan di Candi Kidal beberapa saat yang lalu. Sesekaran yang dilantunkan pertama kali yakni Dandanggula Sunan Kalijaga dengan syair berikut:
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan puurun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunane  wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirnaSakehing lara pan sirna
Sakehing ngama pan sami miruda
Welas asih pandalune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tiba ning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landak, gowane wong, lemah miring
Myang pakiponing merak
Konjuk atur sembah nuwun
Dene kepareng kempal wonten mriki
Sami bingah muji sukur
Kanca kompasianer
Tampi paring Dalem berkah tentrem guyub
Tresna asih myang sumrambah
Luber murah krana Gusti
                                                             artinya:
Kami ucapkan terimakasih
Diperkenankan berkumpul di sini
Merasa berbahagia dan bersyukur
Teman kompasianer
Mendapat berkah kerukunan dari Allah
Cinta kasih yang merambat
Melimpah karena kasih Tuhan
Penulis sendiri hanya mengikuti dengan rengeng-rengeng (bahasa Indonesianya apa ya...?) untuk sekedar membantu supaya tidak keliru.
Hal yang cukup membuat suasana menjadi renyah dan gayeng adalah kesdiaan Mbak Tamita Wibisono ikut sesekaran dengan melantunkan tembang macapat Mijil. Weeeh...sungguh mengejutkan ternyata Mbak Tamita suaranya cukup lembut dan mendayu, menurut Mbak Lilik Sinden dan Mas Supriyono jika wajah seseorang, suara Mbak Tamita adalah babyface. Ternyata Mbak Tamita memang jago sesekaran sejak belajar pertama kali saat kelas 5 SD. Hanya saja kurang terbiasa tampil.
Saat itu kami memang bukan hanya melantunkan sesekaran macapatm tetapi sebagai hiburan juga melantunkan tembang-tembang campursari di antaranya Wuyung, Aja Lamis, dan Nyidam Sari.
Ketika kami melantunkan sesekaran tembang macapat dan campursari, Mas Rahab Ganendra didapuk bagian moto, sedang Mbak Aridha mendengarkan di ruangan lain. Sungguh gayeng marem.
Masih ada lanjutannya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H