Tapi sering juga disuruh antar jemput anak bossnya ke sekolah. Boss yang cerewet dan gaji di bawah UMK menyebabkan ia keluar dan lebih senang berjualan kentang spiral.
Lain lagi dengan Jaiman yang hanya lulusan SMP. Ia adalahseorang urban dari Blitar yang mengadu nasib ke Malang dan bekerja sebagai pembantu bengkel di perusahaan pengangkutan.Â
Sekali lagi, karena honor yang jauh di bawah UMK dan jam kerja yang padat membuat ia memutuskan keluar dan berjualan cilok dan tahu krispi.
Penghasilan sedemikian rupa, tentu sangat kecil untuk memenuhi kesejahteraan. Apalagi jika mereka telah berkeluarga. Seperti Pak Jaiman yang berjualan mainan anak-anak dengan pendapatan paling banter sehari 30 ribu.Â
Putranya yang sudah sekolah di SMP N memang tidak perlu beaya. Tetapi putrinya yang sekolah di SMK Swasta harus mengeluarkan 450 ribu setiap bulan. Untunglah istrinya mau bekerja dengan berjualan nasi bungkus keliling di sebuah pasar.
Bagaimana bila sekolah libur? Mereka harus 'ubet lan obah' artinya mencari akal dan terus bergerak supaya laku. Tentunya beaya operasional juga semakin besar.
Bukankah di depan gerbang sekolah tertulis "Dilarang Berjualan di Depan Sekolah" dan di dalam halaman sekolah pun tertulis "Dilarang Membeli Makanan di Luar Halaman Sekolah" Harus diakui, di negeri kita aturan tinggalah aturan. Artinya aturan dibuat untuk dilanggar.
Harus diakui sesuai dengan petunjuk dari yang berkepentingan, siswa dilarang membeli makanan di luar halaman sekolah yang diragukan kebersihan dan kandungan gizinya.Â
Tetapi tidak menutup mata bahwa makanan yang dijual di warung sekolah harganya mahal dan rasanya membosankan. Tidaklah mustahil jika pada saat istirahat ada saja anak yang membeli atau orangtua yang membelikan dari sela-sela gerbang dan pagar sekolah.