Topeng adalah penutup wajah atau muka yang menggambarkan tokoh imajiner dalam sebuah lakon cerita klasik, tradisional, dan melegenda yang dituangkan dalam wujud seni tari. ( mbah ukik )
Tari topeng dan topeng banyak dikenal masyarakat, dalam kisah-kisah rakyat di tanah Jawa lewat sendratari seperti kisah Ande-ande Lumut dan Klenthing Kuning yang merupakan perwujudan dari kisah Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji dari Kerajaan Jenggala. Reog Ponorogo tentang pergolakan di Kerajaan Bandarangin, atau kisah-kisah pergolakan Kerajaan Turyanpada dan Kanjuruhan dari Malang.
Semua tokoh dalam kisah ini, digambarkan secara imajiner oleh pencipta tari (siapa?) sesuai dengan karakter masing-masing. Tokoh wanita cantik dan lemah lembut biasanya digambarkan atau diwujudkan pada topeng berbentuk wajah lonjong, hidung mancung, mata memandang ke bawah, rambut terurai rapi, dan warna topeng putih, kuning, atau hijau. Tokoh pria gambarannya sama hanya diberi kumis yang rapi.
Tokoh pendeta, brahma, atau sesepuh digambarkan dengan bentuk lonjong maupun bulat, bermata sayu dan berwarna kuning emas atau tidak diwarna. Tidak berwarna artinya semua detail yang ada pada topeng adalah ukiran.
Para wadyabala biasanya atau lebih banyak berbentuk bulat, mata sedikit melotot, hidung biasa bahkan kadang pesek, warna wajah antara merah dan coklat muda, kadang berkumis kadang tidak, serta rambut kurang rapi.
Para pembantu (Mbok Emban) wajah bulat, hidung pesek, kadang tanpa alis, mulut sedikit menyeringai, gigi tonggos, bahkan kadang tanpa dagu, serta warna wajah coklat muda seperti orang tanpa tata rias muka.
Ada juga tokoh-tokoh yang digambarkan dengan topeng hewan karena sifat dan karakternya seperti topeng naga, macan, kera, atau banteng.
Pada awalnya topeng lebih banyak dibuat dari kayu. Karena harga kayu semakin mahal, kini topeng juga terbuat dari plastik dan fiber, selain karena bisa dibuat secara massal dan harganya pun relatif murah. Tetapi para penari dan kolektor masih lebih menyukai yang terbuat dari kayu.
Topeng yang merupakan bagian yang tak lepas dari karakter sang tokoh yang digambarkan dan sering ditampilkan dalam pentas sendratari yang bercahaya remang dan bersuasana mistis dan magis, sering dianggap topeng telah diisi atau disebul di mana ada roh yang tinggal di dalamnya. Alasan inilah yang membuat sebagian masyarakat beranggapan bahwa topeng adalah benda yang syirik.Â
Bahkan teras rumah penulis yang terpampang sekitar lima belas topeng dengan warna lampu coolwhite dianggap rumah angker seorang dukun. Termasuk saat Indonesian Community Day II yang diadakan kompasiana.com pada Agustus 2018 di Malang ada tiga orang berdebat bukan sekedar bertanya tentang kesakralan topeng.
Pada kenyataannya, topeng bukan saja bentuk nyata tokoh imajiner yang dipakai seorang penari atau seniman. Pegeseran nilai-nilai budaya yang membawa kemerosotan nilai-nilai moral telah membawa orang pada kepalsuan dengan memakai topeng yang tidak nyata. Topeng-topeng yang dibentuk melalui ucapan, tindakan, dan penampilan untuk menutupi ketidakpuasan atas diri sendiri agar lebih diperhatikan dan dipercaya orang lain terutama masyarakat umum.Â
Dengan memakai topeng, mereka memainkan drama kehidupan yang menyedot dan menguras emosi para penonton yang terjebak pada melankolis kepalsuan. Namun ketika topeng kepalsuan terlepas dan drama harus berakhir, bukan sorak-sorai tepuk tangan kemeriahan yang didapat. Hanya caci maki para penonton yang ada di dalam maupun di luar pertunjukan. Bahkan para pelaku lain termasuk para sutradara sendiri ikut mencaci dan mendepak sebagai pemain yang bodoh dan pantas ditendang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H