Bahkan teras rumah penulis yang terpampang sekitar lima belas topeng dengan warna lampu coolwhite dianggap rumah angker seorang dukun. Termasuk saat Indonesian Community Day II yang diadakan kompasiana.com pada Agustus 2018 di Malang ada tiga orang berdebat bukan sekedar bertanya tentang kesakralan topeng.
Pada kenyataannya, topeng bukan saja bentuk nyata tokoh imajiner yang dipakai seorang penari atau seniman. Pegeseran nilai-nilai budaya yang membawa kemerosotan nilai-nilai moral telah membawa orang pada kepalsuan dengan memakai topeng yang tidak nyata. Topeng-topeng yang dibentuk melalui ucapan, tindakan, dan penampilan untuk menutupi ketidakpuasan atas diri sendiri agar lebih diperhatikan dan dipercaya orang lain terutama masyarakat umum.Â
Dengan memakai topeng, mereka memainkan drama kehidupan yang menyedot dan menguras emosi para penonton yang terjebak pada melankolis kepalsuan. Namun ketika topeng kepalsuan terlepas dan drama harus berakhir, bukan sorak-sorai tepuk tangan kemeriahan yang didapat. Hanya caci maki para penonton yang ada di dalam maupun di luar pertunjukan. Bahkan para pelaku lain termasuk para sutradara sendiri ikut mencaci dan mendepak sebagai pemain yang bodoh dan pantas ditendang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H