Penulis sendiri kali ini makan bersama dengan seorang tamu gadis cantik dari Madiun yang tertarik dengan acara ini. Sebuah kejutan karena gadis milenial yang biasanya sudah tak biasa lagi berbahasa Jawa justru amat fasih dengan bahasa halus atau krama  inggil.Â
Sedang para pejabat makan bersama di panggung. Kurang lebih lima belas menit kami bersantap bersama keluarga dan leluhur di pemakaman, kami kembali ke desa secara bersama-sama.Â
Bagi leluhur yang telah kami hantar kembali setelah menemani kami selama 15 hari di bulan nan sakral, Bulan Karo, di atas makam kami beri sesaji seperti santapan saat masih hidup di dunia.Â
Makan bersama keluarga dan leluhur di pemakaman ini, merupakan pesta perpisahan dengan para leluhur yang akan kembali ke alam swargaloka dalam suasana yang bahagia.
Penulis kali ini kembali ke rombongan bersama Mbah Dukun dan P. Mujianto selaku pejabat kepala desa. Kami sebut pejabat kepala desa, karena pada 11 Nopember 2018 nanti akan ada pemilihan lurah baru.
Selanjutnya di rumah kami masing-masing diadakan pesta keluarga dengan sambil saling beranjangsana ke setiap keluarga dan kerabat. Sebuah pesta nan meriah karena setiap keluarga menyediakan aneka masakan, makanan, dan buah-buahan serta pakaian sebagai sesaji bagi para leluhur serta seluruh anggota keluarga.Â
Masakan, makanan, dan buah-buahan bukan hanya diperuntukan bagi keluarga dan leluhur saja, tetapi juga dihidangkan bagi para tamu. Siapa saja yang diundang wajib memakan dan tidak boleh menolak.
Tuan rumah pun mempersilakan dengan tetap duduk di kursi tanpa berjabatantangan atau salaman apalagi menghantar tamu. Ini bukan hanya pada saat hari raya atau hajatan tetapi juga pada saat kita bertamu. Bagi yang tidak biasa tentu terasa janggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H