Ogoh-ogoh, dalam budaya (Hindu) Bali merupakan patung raksasa sebagai lambang Buta Kala yang menggambarkan sifat yang penuh kerakusan, kejahatan, dan keangkaramurkaan manusia yang ingin mendapat kesenangan atau kepuasan duniawi saja sehingga melupakan kehidupan secara keseluruhan yang harus dijaga keselarasan antara dirinya sendiri sebagai buana alit dengan alam semesta sebagai buana agung.
Ogoh-ogoh biasanya dibuat dalam bentuk sebuah patung yang menggambarkan tokoh yang jahat, seperti, Sehari menjelang Hari Raya Nyepi, ogoh-ogoh diarak seluruh warga ke tempat yang lapang dan selanjutnya dibakar di sana sebagai pemusnahan sifat-sifat jahat dan penuh keangkaramurkaan.
Bukan hanya di kota besar tetapi juga di pelosok desa di tanah Jawa. Serta bukan oleh umat Hindu saja. Tetapi juga oleh masyarakat pada umumnya ketika mengadakan suatu kegiatan bersifat massal seperti Upacara Bersih Desa dan perayaan kemerdekaan negara kita.
Minggu, 23 September 2018 ketika penulis bergowes ria ke arah timur Malang sejauh 42 km pergi pulang sebanyak 5 kali terhadang pawai desa merayakan tahun baru 1 Muharam atau Grebeg 1 Suro. Yakni di Desa Slamet, Tulus Besar, Kidal, Kabalon, dan Cemoro Kandang.
Para pengaraknya ada yang memakai pakaian adat bali, namun ada juga yang sekedar menggunakan udeng (ikat kepala) Bali atau kain panjang motif khas Bali yakni kotak-kotak hitam putih.
Pertanyaan sempat muncul dalam benak penulis, mengapa mereka lebih tertarik menampilkan ogoh-ogoh dari pada tokoh pewayangan yang antagonis seperti Sengkuni, Durna, Dursasana, atau Buta Cakil. Atau setidaknya tokoh-tokoh tradisional dalam kisah sejarah berdirinya Malang pada masa lalu.
Bukankah di wilayah timur Malang mulai dari Kedung Kandang dan Kalisari hingga Tumpang dan Poncokusumo merupakan wilayah kuno sejak jaman Kanjuruhan, Singosari, dan Majapait.
Bukankah Desa Kabalon sendiri juga merupakan salah satu desa yang sudah ada sejak jaman Ken Angrok. Tempat di mana Ken Angrok melakukan suatu kejahatan seperti yang tertulis di Kitab Pararaton?
Misalnya Anoman, Arjuno, Srikandi, Gatotkaca, Kresna, atau Bimo. Siapa pula yang mau dijadikan tokoh Dasamuka, Sengkuni, Durna, atau Dursasana. Kalau toh ada yang mau paling menjadi Buta Cakil. Itu pun sewa bajunya amat mahal. Satu baju tokoh pewayangan bisa untuk membuat satu ogoh-ogoh yang dapat melibatkan banyak orang.
Di sisi lain Sengkuni dan tokoh jahat pewayangan lainnya adalah menggambarkan sifat dan karakter pribadi. Sedang ogoh-ogoh lebih bersifat kolektif dalam kehidupan masyarakat atau komunitas. Dalam masyarakat dan komunitas ada Sengkuni, Durna, Dursasana, Dasamuka, atau Banowati.
Kadang menjadi seorang guru yang bijak seperti Kresna. Bisa juga menjadi guru wagu seperti Durna. Atau wanita cantik dan sexy seperti Banowati tapi tidak puas dengan pasangannya. Bahkan pemimpin yang tenang dan bijak namun takut istri, seperti Bethara Guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H