Kalau pembaca pernah ke pelosok desa, atau pernah tinggal di desa tentu pernah melihat rumah yang berdinding anyaman bambu, dalam Bahasa Jawa disebut omah gedhek. Bahkan dulu mungkin pernah tinggal di rumah gedhek. Penulis sendiri pernah mengalami tinggal di rumah gedhek antara tahun 1969-1976.
Rumah gedhek sering diidentikkan dengan kemiskinan. Padahal, penghuni dan pemilik rumah gedek kadang mempunyai kebun yang cukup luas di sekitarnya. Seperti yang tampak dari foto di bawah ini, dua omah gedhek dengan kebun salak yang ada di Desa Widodo Martani, Sleman. Mungkin karena sudah berumur puluhan tahun, sehingga gedheknya yang hanya disaput dengan kapur tampak begitu kusam. Ditambah lagi dengan kebun salaknya yang kurang terawat sehingga semakin menunjukkan penghuninya termasuk keluarga tidak sejahtera.
Gedhek atau anyaman bambu untuk dinding rumah ada tiga jenis. Pertama, bambu setelah dipotong sepanjang 2 -- 3m lalu dibelah menjadi dua, kemudian dipukuli ( Jawa: dipeprek ) hingga menjadi belahan-belahan tetapi tetap menyatu. Atau bisa juga, potongan bambu dibelah dengan ukuran 2 -- 3 cm lalu dianyam tiga-tiga. Anyaman bambu seperti ini biasa disebut sesek.
Gedhek atau sesek seperti ini, tampak cukup kuat dan kokoh, tetapi karena potongan bambu tidak dibelah tipis, maka ada lubang-lubang di antara anyaman. Tentu saja, jika untuk dinding, maka angin akan mudah masuk di sela-sela anyaman. Dan, bukan hanya angin saja, tetapi bisa juga hewan liar seperti ular, ulat, kalajengking, bahkan musang dan macan rembah ( harimau pohon ). Dan, yang paling tidak nyaman saat kita tidur, dengkuran dan desahan bisa terdengar dari luar. Maka dari itu, dinding sesek biasanya dilapisi dengan kapur. Bahkan agar lebih kuat ada yang melapisi dengan tanah liat, baru kemudian disaput dengan kapur.
Kelemahannya adalah gedhek menjadi agak lentur sehingga mudah peyok jika terdorong. Gedhek semacam ini jarang dipakai, selain untuk plafon atau peralatan rumah tangga atau dapur. Jadi agak sulit menemukan. Namun biasanya, justru digunakan untuk dinding kafe atau warung lesehan.
Ada juga rumah gedhek yang tidak terbuat dari anyaman bambu, tetapi dari bambu yang dibelah kemudian dipaku di tiang penyangga rumah. Ini lebih kuat dari gedhek, tetapi selanya menjadi lebih banyak apalagi jika belahan bambunya tidak rata. Sehingga angin yang masuk lebih kencang dan desahan eh dengkuran pemilik rumah lebih terdengar.
Penulis sebagai orang yang pernah menghuni omah gedhek, sebenarnya tidak senang bahkan tidak setuju jika ada sebutan 'rai gedhek' Tetapi karena, istilah 'rai gedhek' jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, justru berubah menjadi 'bermuka tembok' Artinya sama saja, tak punya rasa malu sedikit pun.
Omahe gedhek nanging dudu rai gedhek.
---
* Foto-foto di atas diambil di sebuah desa wilayah Malang Selatan, sekitar 4 tahun yang lalu saat kami mengadakan bakti sosial. Dan sudah diposting di Kompasiana. Sekarang mulai ada perubahan.
*Foto terakhir (bawah) diambil di daerah Widodo Martani, Sleman sekitar 4 tahun yang lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H