Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Sabar dari Pak Gumiyar, Seorang Buruh Tani

5 April 2018   12:05 Diperbarui: 5 April 2018   14:58 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang memanggilnya Pak Gum, lengkapnya Gumiyar. Sesuai dengan namanya yang artinya kurang lebih selalu gembira,Pak Gum tampak senyumnya mengembang di antara wajahnya yang imut dan tubuhnya yang mulai renta namun demikian kekuatan ototnya masih terlihat. Sesekali ia nampak termenung memandang sawah garapannya yang mulai mengering setelah panen.

Sebulan yang lalu, penulis berbincang ( dalam Bahasa Jawa ) dengannya saat sore hari sesudah panen.

"Bagaimana Pak Gum, panenannya?"

"Hancuuuur....." jawabnya sambil memandang tumpukan gabah kering tak berisi ( Jawa: gabuk ) yang dibakar bersama jerami. 

" Kok bisa Pak....?"

"Walang sangit, udan bengi, lan manuk emprit. Kados pundi malih, sampun pesti...... (Walang sangit, hujan malam, dan serbuan burung pipit. Bagaimana lagi, nasib....)," lanjutnya sambil tersenyum.

Dokpri
Dokpri
Sampun pesti, sebuah pandangan atau filsafat Jawa yang artinya kurang lebih sudah kehendak Sang Ilahi. Sebuah pandangan masyarakat Jawa yang selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan yakni kelimpahan, tetapi justru hasil kurang bahkan tidak memuaskan yang diperoleh. 

Rasa kecewa ( Jawa: getun ) tak dapat dielakkan tetapi tak boleh terus larut maka senyum harus tetap mengembang. Inilah sikap narima ing pandum Pak Gumiyar. Sebuah pandangan kearifan lokal yang menerima apa saja yang diberikan Sang Maha Kuasa sekalipun telah berusaha untuk menggapai yang terbaik justru sebaliknya yang didapat.

Pak Gumiyar, adalah salah satu gambaran seorang buruh tani yang selalu berusaha untuk hidup lebih sejahtera. Sudah lima puluh tahun, sejak berhenti di kelas 5 Sekolah Rakyat ( SD ), ia menjadi buruh tani melanjutkan orangtuanya. Pak Gum tinggal di Desa Mojolangu, sebuah desa kota di bagian utara Malang yang kini berkembang menjadi wilayah perumahan kelas menengah.

Dokpri
Dokpri
Semakin menyempitnya lahan persawahan dan berkurang kaum muda menjadi petani, serta keinginan untuk lebih sejahtera, Beliau menjadi petani penggarap sebuah lahan yang luasnya kurang lebih 0,5 ha.

Berbekal uang tiga juta, hasil tabungan dan pemberian putranya, uang tersebut digunakan untuk membeayai upah pengolahan tanah ( membajak ) sekitar Rp 1,500,000, bibit padi Rp 350,000, upah penanaman dan perawatan ( tandur dan matun ) Rp 600,000, obat dan pupuk Rp 500,000, serta pengairan RP 400,000. Keseluruhan menghabiskan sekitar Rp 3,350,000.

Berdasarkan pengalaman sebagai buruh tani dan melihat kesuburan tanahnya, lahan seluas 0,5 ha bisa menghasilkan gabah kering IR 64 sekitar 2 ton. Dengan perkiraan harga gabah kering sekitar Rp 4,000 maka akan menghasilkan sekitar Rp 8,000,000.  Dikurangi beaya pengolahan sebesar Rp 3,350,000 maka keuntungan yang diperoleh selama 4 bulan usia padi sebesar Rp 4,650,000. Artinya sebulan hanya mendapat keuntungan sebesar Rp 1,170,000

Dokpri
Dokpri
Apa mau dikata, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Serangan hama dan perubahan cuaca (hujan dan angin) serta harga gabah yang terjun sekitar Rp 3,200 perkg membuat Pak Gumiyar tak dapat berbuat apa-apa. Lahan yang digarap hanya menghasilkan 8 kuintal ( 800kg ) dengan harga gabah seperti itu menghasilkan uang Rp 2,560,000. Secara ekonomis, Pak Gumiyar rugi sebesar Rp 790,000 ( tujuh ratus sembilan puluh ribu ).

Lahan garapan di pinggir perumahan kelas menengah.
Lahan garapan di pinggir perumahan kelas menengah.
Pak Gumiyar hanyalah salah satu dan ratusan ribu buruh tani yang berusaha meningkatkan taraf kehidupannya sendiri. Sepertinya halnya kaum buruh atau kaum marginal lainnya yang hanya bisa berusaha sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan yang minim dan tak  berharap  banyak pada penguasa atau siapa pun termasuk pemilik modal untuk membantu mereka hidup lebih layak. Senyum mengembang merupakan tanda ketabahan dan kesabarannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun