Pada tahun 60an hingga awal 80an, saat bulan puasa ada dua hal unik yang kini menjadi sebuah kenangan. Pertama adalah blanggur, yakni suara dari petasan besar yang diluncurkan ke atas dengan kekuatan roket kembang api lalu meletus atau meledak dengan suara keras "bluuuuuuuurrrrrr...." Suara ledakan blanggur di ketinggian udara sekitar 100m yang demikian keras menggema hampir ke seluruh wilayah kota sebagai tanda telah tiba waktunya untuk berbuka puasa. Beberapa saat setelah suara blanggur terdengar akan diikuti dengan suara adzan maghrib yang bersautan di masjid, musholla, dan langgar serta radio.
Di kota Malang, petasan blanggur diluncurkan oleh salah seorang takmir di depan Masjid Jami yang tepat berada di sebelah barat alun-alun Malang yang merupakan titik nol. Peristiwa peluncuran blanggur menjadi daya tarik sendiri bagi warga Malang untuk ditonton sambil ngabuburit.
Awal tahun 80an, blanggur sudah tidak digunakan lagi karena pada saat itu radio dan televisi sudah merakyat, sehingga tanda diawalinya waktu berbuka dan maghrib bisa lewat adzan di radio atau televise yang saat itu masih hanya ada TVRI. Alasan ke dua, blanggur terlalu berbahaya bagi keselamatan.Â
Penulis sendiri pernah melihat dua kejadian menakutkan. Pertama 1971, sumbu petasan dikira mati ternyata ketika akan dinyalakan lagi oleh petugas, sumbu petasan yang terjepit rapat petasan masih menyala dan langsung meledak sehingga si petugas jatuh terjengkang. Ke dua 1973, petasan tak terbungkus rapat dan ngowos sehingga pelor blanggur yang seharusnya meluncur ke atas menjadi liar tak terkendali yang membuat para penonton buyar bagaikan lebah yang dipukul sarangnya dan saling dorong serta jatuh. Termasuk sarung penulis robek gak karuan tersangkut akar gantung beringin. Akhirnya blanggur menyangkut dan meledak di dahan atas pohon beringin tepat di depan Masjid Jami.
Pengalaman masa lalu mengingatkan kekonyolan saat penulis masih SD kelas 4 - 6, bagaimana menggoda teman yang agak penakut saat istirahat di bawah pohon sawo tengah Dusun Karang Jepun dan Karang Tengah ( sekarang  menjadi komplek perumahan Jl. Kalpataru dan Jl. Coklat serta Soekarno Hatta ) lalu salah seorang yang tertidur ditinggal sendirian.Â
Saat terbangun, ia pun nangis berteriak-teriak membuat geger warga dan kami pun dilarang patrol lagi oleh orangtua. Atau kami disiram air dari balik gedhek seorang warga yang merasa terganggu. Atau kami lari tungganglanggang saat melewati tepi punden dan kuburan tiba-tiba saja seekor burung malam terbang rendah sambil bersiul 'culiii....culii....culii'.Â
Dalam Bahasa Indonesia kata culi artinya 'lepaskan' menurut keyakinan orang Jawa, jika ada burung malam bersiul culi culi artinya ada hantu pocong yang minta segera dilepas kain kafannya supaya ia segera bisa tenang menghadap Sang Maha Kuasa. Kebetulan pada saat itu, sebelum puasa ada seseorang yang baru meninggal karena sakit di hari Selasa Wage yang agak disakralkan. Jadi kami anggap dia menjadi hantu sehingga kami lari terbirit-birit.
Agak ke kota, biasanya musik patrol lebih banyak oleh kaum muda dan sudah menggunakan alat musik modern seperti gitar, ketipung, tamborin, dan suling. Kenangan penulis pada tahun 69, sering mendengar yang dilantunkan adalah Walang Kekek dan Enthit dari Waljinah, Pantai Pataya dari Lilis Suryani, Semau Gue dari Grace Simon, atau Janda Kembang dari Titik Sandhora dan Muchsin Alatas. Lagu barat yang sering dilantunkan adalah Obladi Oblada dari The Beatles dan Mama dari Hientje.
Peluncuran blanggur pada saat ini sudah tidak ada lagi. Sedang musik patrol keliling kampung dan desa boleh dikatakan mulai tergeser siaran radio dan televisi yang tak pernah berhenti atau mobilitas masyarakat yang kini tak kenal waktu.