Pernah anda menonton secara langsung pertunjukan wayang kulit, wayang orang, wayang golek, wayang beber, ketoprak, atau ludruk di sebuah gedung pertunjukan berbayar ataupun gratis yang diadakan di lapangan terbuka?
Kalau sudah pernah syukurlah, sekalipun hanya satu dua kali saja. Artinya anda masih mau memperhatikan seni tradisional. Namun coba perhatikan seberapa banyak warga yang antusias untuk menontonnya, paling tidak hingga pertengahan pertunjukan.
Kalau anda belum pernah menonton, cobalah sekali waktu mau meluangkan kesempatan untuk menonton. Syukur pula mau mengajak teman dan keluarga serta kerabat hingga pertunjukan berakhir. Tentu akan lebih bagus pula anda mau menjadi donatur atau sponsor jika anda mempunyai perusahaan.
Sekarang, kembali saya bertanya pernahkah anda menonton sekelompok orang sedang mengamen di tepi jalan raya atau tempat wisata dengan menampilkan seni tari jaran kepang, kentrung, atau melantunkan sebuah tembang Jawa klasik atau campursari dengan iringan gambang atau siter?
Sungguh amat membanggakan jika anda pernah menontonnya dan selembar uang kertas untuk penghargaan atas jerih payah mereka. Harapan saya tentunya anda betul-betul menonton dan bukan sekedar melihat sambil lalu dan memberi uang hanya sebagai tanda belaskasihan terhadap para seniman jalanan yang sedang mengamen.
0 0 0 0
Setahun yang lalu, penulis pernah menonton pertunjukan sintren di Pantai Ayah, Kebumen dan sebuah tari tradisional ( lupa namanya, bukan jaran kepang namun penarinya bisa kesurupan ) di Taman Kaliurang. Sama-sama menarik, namun penontonnya tak lebih dari 15 orang. Bahkan pertunjukan sintren penontonnya hanya 2 orang, saya dan istri. Herannya mereka tetap semangat untuk tampil. Alasan mereka adalah ini adalah sebuah panggilan seorang seniman dan karena dibayar oleh pihak pengelola. Sekalipun feenya hanya cukup untuk makan keluarga satu hari saja.
Ketika penulis berjalan-jalan di Malioboro sering menonton sekelompok anak muda mengamen dengan berbagai alat musik dan juga ada penonton yang tak malu-malu ikut bernyanyi dan berjoged. Penonton tak ragu menaruh lembaran uang kertas di kaleng yang disediakan. Menurut pengamatan penulis, dalam dua jam penampilan mereka bisa meraup antara 100 – 200 ribu rupiah. Jumlah yang cukup lumayan dibagi 4 – 5 orang anggota pengamen.
Di selatan Malioboro keadaan jauh berbeda, sekelompok seniman jaran kepang sedang beraksi di depan kantor gubernur. Dengan tetabuhan bonang, saron, dan kendang yang menghentak-hentak serta gerak penari Bojang Anong dengan gerak tari masa kini ternyata tak cukup menarik perhatian pengunjung. Ketika mereka mengakhiri pertunjukan setelah dua jam beraksi, sungguh di luar dugaan hasil amen tak lebih dari 50 ribu rupiah. Padahal saat itu pengunjung alias wisatawan amat membludak.
Ketika penulis bertanya pada mereka, mengapa tak beraksi di tengah Malioboro atau dekat tugu, jawaban mereka agak mengejutkan. “ Bisa aman tampil di sini saja sungguh luar biasa. Biasanya malah dibubarkan Satpol PP apalagi di sana.”
Sebuah pernyataan dari keadaan yang perlu ditanyakan, mengapa ada sebuah perbedaan penanganan.
Keadaan seperti ini bukan hanya di Jogja yang disebut sebagai pusat budaya Jawa, tetapi juga di kota-kota lain.
Entah karena sudah sering menonton atau kurang menarik karena penampilannya yang lusuh termasuk alat musiknya, pengamen seni tradisional jaran kepang boleh dikatakan sepi penonton. Para pengunjung CFD hanya melihat sambil lalu saja. Hanya satu dua yang mau menaruh uang receh. Dua tiga orang penonton tampak asyik dengan kamera DSLRnya untuk mengambil gambar dari berbagai sudut. Setelah puas, mereka pun pergi meninggalkan pengamen tanpa jejak apa pun apalagi lembaran uang kertas. Hingga jam sembilan pagi saat CFD sudah lewat, uang lima belas ribu terkumpul. “Lumayan, bisa untuk sarapan…,” ujar Mbah Rebo seniman dan pengendang dari Ponorogo ini.
Mbah Rebo bersama anak cucunya ini, sangat mengucapkan terima kasih ketika penulis memberikan sebungkus rokok klembak menyan yang sengaja penulis bawa untuk latihan menari di Sekolah Budaya Tunggul Wulung Malang. Lalu Beliau pun mengungkapkan akan kembali ke Ponorogo karena mengamen di Malang yang dianggapnya sebagai kota besar tak dapat diharapkan untuk menambah penghasilan sebagai seniman jalanan. Penulis pun tak tega dan membelinya ketika Beliau menawarkan lima topeng buatannya.
Seni memang sebuah ungkapan jiwa setiap pelakunya yang tak dapat dinilai dengan uang. Tetapi apresiasi dan penghargaan pada para seniman atas budaya tradisional yang merupakan bagian dari budaya nasional harus dipelihara dan dipupuk oleh insan yang memilik budaya tersebut. Tak peduli seniman tersebut adalah orang-orang pinggiran yang tersisih secara sosial karena ekonomi atau pendidikan.
Salam budaya. Rahayu…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H