Setahun terakhir, suhu dinamika kehidupan sosial masyarakat di negeri ini terasa cukup panas. Terutama bagi masyarakat yang lebih banyak dipengaruhi berita pemilihan kepala daerah di Jakarta melalui media sosial maupun televisi. Demi rating, stasiun televisi mencoba mengupas tuntas setiap ucapan, tindakan, atau putusan pribadi maupun kelompok dan institusi yang berusaha mencari dan merebut hati para pemilih.
Tak terkecuali, banyak warga penggemar media sosial yang berani menyampaikan pendapat secara terang-terangan berseberangan dengan warga lain dengan lontaran kalimat-kalimat yang cenderung sebagai ucapan seorang agitator. Tak terkecuali tokoh masyarakat dan agama yang seharusnya memberi teladan dengan ucapan yang meneduhkan daripada hembusan badai yang dapat membawa badai bagi kehidupan masyarakat.
Membaca keadaan yang agak panas dan dipandang bisa membawa ke arah perpecahan, beberapa pemerhati budaya dan masalah sosial di wilayah Malang mengadakan ruwatan untuk negeri ini di Candi Kidal, Kabupaten Malang pada Sabtu – Minggu, 18 – 19 Februari 2017.
Acara di mulai jam 20.30 hingga 23.45 merupakan acara awal yang bersifat seremonial dan hiburan. Di awali dengan tembang macapat dandanggula Kidung Rumeksa ing Wengi karangan Sunan Kalijaga yang dilantunkan oleh Si Marni ( Lilik Sindhen ), para peserta diajak mempersiapkan batin dalam keheningan malam.
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirna
Suasana sedikit mencair, kala memasuki acara hiburan dengan menampilkan Tari Bapang yang merupakan tari asli dari Kota Malang dan ular-ular atau penjelasan tentang kegiatan ruwatan yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Kerajaan Singhasari seperti yang tertulis dalam Kitab Pararaton. Ki Suryo selaku pemerhati masalah budaya dengan penuh semangat menjelaskan secara gamblang hingga para peserta duduk terpana.
Suasana kembali menjadi hening dan sakral, saat memasuki Ritual Puja Agung Bhakti Leluhur Singhasari yang diawali dengan doa secara bergantian oleh setiap pemeluk tiap agama. Sebagai doa pembukaan oleh Ki Suryo pemimpin acara ritual sebagai wakil agama Islam, dari wakil Kristiani saya sendiri yang mendaraskan, dan dilanjutkan dari Padepokan Gunung Kawi dan juru kunci Candi Kidal.
Malam semakin larut dalam keheningan mengajak semua peserta dalam semedi untuk mengheningkan diri dalam kesunyian yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi semata yang jika tak terkendali hanya akan membawa petaka.