Selasa Kliwon
“Kalau kau memang sudah nekad, nanti Rabu Wage sebelum jam tiga sore kamu harus ke sini lagi sambil membawa kembang borek.”
“Kembang apa itu Mbah?”
“Kembang yang barusan dipakai untuk memandikan jenazah. Dan bukan yang sudah menyentuh jenazah yang dimandikan. Bukan kembang yang ditaburkan di atas makam!”
Sejenak anak muda itu terdiam.
Lalu dengan suara lirih menjawab, “Yaa…Mbah saya siapkan.”
“Eiiit…. Bukan sembarang jenazah lo. Tetapi jenazah orang yang kamu kenal bukan sekedar kamu ketahui. Dan kau harus mengambil kembang itu sendiri. Gak boleh menyuruh orang lain. Gak akan mandi!”
Anak muda itu kembali terdiam. Diambilnya secangkir kopi jagung pait lalu disruputnya tanpa terlebih dahulu minta ijin padaku. Dasar anak muda tak tau sopan santun.
Jam sembilan malam dengan sedikit gontai, ia mohon pamit sambil berkata:
“Kalau Rabu Wage saya tak datang artinya batal ya Mbah?”
“Ya. Tapi itu masih syarat yang pertama sebelum semua harus dilakukan. Masih ada empat syarat lagi.”
Ia pun salim padaku lalu dengan temannya ngeloyor pergi naik sepeda motornya.
Anak muda itu kembali datang ke rumah sambil menunjukkan kembang borek yang hanya dua buah kembang kenanga. Katanya diambil dari tetangganya yang meninggal karena sakit diabetes dua hari yang lalu. Sungguh aku tak yakin dia seberani itu. Kalau toh memang benar itu kembang borek tentu dia menyuruh orang lain.
Setelah berbincang, kuminta dia membuat secangkir kopi pait dan air putih di pawon kami. Aku pun mengambil segelas air dari gentong lalu kumasukkan kembang borek ke dalamnya.
Setelah semua tersaji di meja, aku membaca mantra dengan lirih. Kulirik dia dan tampak wajahnya cukup tegang.
“Minum air kembang ini!”
“Mbaah…..”
“Takut atau jijik?”
“Keduanya Mbaah….”
“Terserah kamu. Ini niatmu, Simbah cuma membantu…. Kalau kau membatalkan ya terserah!”
Dia hanya diam. Sambil menghisap rokok dipandangnya kembang borek yang kusuruh meminumnya.
Sejenak kemudian ia menawar:
“Kalau hanya kucicipi sedikit saja, bagaimana Mbah?”
“Kau berniat menghabisi orang yang kau anggap merusak usahamu dan minta bantuanku. Simbah membantumu menenangkan diri dengan dendam kesumatmu yang kuat tapi kau takut minum air kembang borek ini…”
Rupanya ia terbakar dengan ucapanku, lalu diambil dan secepat kilat segelas air putih kembang borek dihabiskannya.
“Jangan dimuntahkan!” seruku saat dia seperti tampak mual.
“Kalau kau muntahkan saat pulang dari sini pun semua tak ada hasilnya.”
“Yaa…Mbah,” jawabnya dengan sedikit wajah muram.
“Senin Paing jam tujuh malam kamu datang ke sini lagi dengan membawa kemenyan dan benda tajam dari logam yang mudah berkarat yang dapat membunuh orang yang kau kehendaki,” pintaku padanya.
Badannya tampak mulai bergetar. Entah takut, entah merasa sedikit senang karena niatnya sedikit terlaksana.
Hujan rintik seharian, ternyata tak menyurutkan niat anak muda ini datang ke gubukku. Kilatan dan suara guntur bersautan di awal malam seakan mengiringi kedatangannya. Sebungkus rokok klobot dan sebungkus kopi sebagai oleh-oleh dikeluarkan dari tas ranselnya.
“Hanya sedikit Mbah….”
“ Tak apa. Sudah kamu bawa?”
“ Sudah Mbah…” katanya sambil mengeluarkan tiga bungkusan kertas lusuh. Sebuah berisi beberapa paku tanggung. Sebuah lagi berisi jarum, peniti, paku kecil, dan mur baut. Dan yang lain berisi dua bongkah kecil kemenyan.
“Sungguh ini kemenyan Jawa?” tanyaku meyakinkan.
“Iya Mbah…”
Aku hanya mengangguk namun yakin ini memang kemeyan yang sering kupakai.
“Kau berani pulang dari tepi hutan ini pada jam dua belas malam?”
“Kok malam Mbah?”
“ Gak berani?”
“Berani Mbah… berani…”
“Nah….gitu. Ini kan wetonmu. Tanda kejayaanmu. Tanda kekuatanmu untuk hidup di dunia. Pada malam inilah ibumu berjuang antara hidup dan mati demi kehidupanmu. Kau harus tirakat. Bukan untuk mencari kesenangan diri saja….”
Dia diam dan menundukkan kepala. Rupanya ia kaget bahwa aku mengetahui wetonnya.
Menjelang tengah malam, aku kembali berbincang dengannya. Sebenarnya lebih berarti mendengar celotehnya yang penuh dendam pada temannya yang dianggap mematikan usahanya hingga mendekati kebangkrutan.
“Kukira dia dulu pinjam uang untuk membuka usaha di tempat lain lho Mbah…. Ternyata membeli toko di sebelah toko kami yang telah bangkrut. Yang dijual pun sama… dan anehnya baru beberapa minggu dia buka toko langsung laris malah banyak pelanggan kami yang lari kesitu.”
“Ya memang rejekinya…” jawabku tenang.
“Anehnya, setiap Senin Paing tokonya tutup. Katanya mereka kembali ke desa di Gunung Kawi sana. Mungkin itu naga dinanya untuk jampi-jampi penglaris Mbah,” katanya penuh curiga.
“Kau yakin anggapanmu itu benar?”
Dia cuma mengangguk pelan.
Rokok klembak kutiup pelan ke hadapannya.
“Kurasakan mereka telah minta pager pada seseorang dan sulit ditembus hanya dengan jarum, paku, peniti, atau mur baut. Bahkan sekedar menjadikan mereka kembang amben sulit sekali apalagi menghabisinya.”
“Jadiii….Mbah gak mau atau gak mampu?”
“Niatmu sudah kuat. Gamannya kurang kuat. Malam Jumat Legi jam sebelas malam kamu ke sini lagi dengan salah satu keluargamu sambil membawa linggis.”
“Linggis? Kok gedhe banget Mbah… apa bisa dimasukkan ke dalam tubuh mereka?”
“Kalau kamu ragu kemampuanku kenapa datang ke sini?”
Kamis Kliwon, malam Jumat Legi
Malam Jumat Legi, seperti biasa aku hanya duduk-duduk di lincak sambil menikmati nyanyian alam nan merdu. Siulan angin yang menggoyang pucuk-pucuk kenanga yang menebarkan keharuman khas desa dengan iringan suara reknong dan belalang serta sekali-kali ciutan burung bence menambah sakralnya malam ini. Di timur laut tampak purnama mengintip di balik awan di ujung Semeru. Suara kodok jauh di persawahan bercampur lagu dangdut yang sayup-sayup membuat diriku lupa bahwa malam ini akan ada tamu yang mempunyai niat nekat.
Kala akan masuk ke rumah, ada dua sorot lampu sepeda motor memasuki halaman rumah. Setelah menghentikan sepeda motornya di bawah kembang kenanga mereka menyapaku dengan sopan.
“Nuwun… Mbah. Menapa dalemipun Mbah Taslam?” ( Permisi Mbah…. Apa ini rumahnya Mbah Taslam?)
“Ya….aku dhewe.” ( Ya… aku sendiri )
Mereka pun salim padaku dan kupersilahkan masuk. Di dalam rumah mereka menceritakan kalau Marji yang malam ini janji datang ke sini sedang rawat inap di sebuah rumah sakit. Sakitnya aneh. Dadanya terasa nyeri dan sesak, tetapi menurut diagnose dokter semua normal saja.
Mereka pun minta padaku agar membantu menyembuhkan dan besok diminta datang ke rumah sakit.
Jumat legi, 23 September 2016
Jam sebelas siang, tepat hari Jumat Legi, tanpa sepengetahuan keluarganya aku langsung menuju ke ruang radiologi tempat ia akan dirontgen. Ternyata sepi. Kutanya pada seorang perawat apa ada seorang pria muda bernama Marji yang akan dirontgen.
“Tidak jadi, Mbah. Tadi jam sembilan sudah meninggaldunia…” jelasnya.
Tuhan ampunilah dosa-dosanya dan biarlah dia tenang di sisiMu. Doaku dalam hati.
0 0 0 0
Di depan kamar mayat beberapa orang berkumpul, sebagian tampak raut kesedihan di wajahnya. Dari perbincangan kudengar, Marji meninggal karena serangan jantung akibat hutang yang menumpuk.
“Toko belum laris saja sudah kredit mobil mahal….” celutuk seseorang.
“Gitu katanya disantet dan tokonya dimatikan orang…..” celutuk yang lain.
“Duh, Gusti nyuwun kawelasan, mugi Panjenengan Dalem kersa nampi piyambakipun…..” doaku dalam hati. ( Ya Allah mohon belaskasihMu, semoga Engkau berkenan menerima di sisiMu…)
Kekayaan duniawi sering membuat manusia lupa….
Desa Gubuk Klakah
Jumat Legi, 23 September 2016
Wayah Bedug, Jam 11.30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H