Dia diam dan menundukkan kepala. Rupanya ia kaget bahwa aku mengetahui wetonnya.
Menjelang tengah malam, aku kembali berbincang dengannya. Sebenarnya lebih berarti mendengar celotehnya yang penuh dendam pada temannya yang dianggap mematikan usahanya hingga mendekati kebangkrutan.
“Kukira dia dulu pinjam uang untuk membuka usaha di tempat lain lho Mbah…. Ternyata membeli toko di sebelah toko kami yang telah bangkrut. Yang dijual pun sama… dan anehnya baru beberapa minggu dia buka toko langsung laris malah banyak pelanggan kami yang lari kesitu.”
“Ya memang rejekinya…” jawabku tenang.
“Anehnya, setiap Senin Paing tokonya tutup. Katanya mereka kembali ke desa di Gunung Kawi sana. Mungkin itu naga dinanya untuk jampi-jampi penglaris Mbah,” katanya penuh curiga.
“Kau yakin anggapanmu itu benar?”
Dia cuma mengangguk pelan.
Rokok klembak kutiup pelan ke hadapannya.
“Kurasakan mereka telah minta pager pada seseorang dan sulit ditembus hanya dengan jarum, paku, peniti, atau mur baut. Bahkan sekedar menjadikan mereka kembang amben sulit sekali apalagi menghabisinya.”
“Jadiii….Mbah gak mau atau gak mampu?”