Beberapa alasan yang menyebabkan hal ini terjadi di antaranya: banyak yang telah mengetahui kisahnya, memerlukan waktu semalam suntuk untuk menikmatinya, dan yang agak menjadi suatu keanehan bahwa kisah dan ajaran wayang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama, terutama dalam hal ini menyangkut ‘keberadaan para dewa’
Sekitar lima belas hingga sepuluh tahun yang lalu, ada televisi swasta yang mau menampilkan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan segala macam perubahan penampilan yang cukup untuk membuat masyarakat tertarik. Namun, seiring perubahan jaman lambat laun mulai ditinggalkan lagi. Memang sekali waktu masih ada yang mau menampilkan selain TVRI.
Para seniman, budayawan, serta pemerhati wayang kulit sebenarnya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberi nilai tambah pada pagelaran wayang kulit agar lebih menarik dan tentunya kaum muda untuk tidak meninggalkan kesenian Nusantara ini.
Pada pagelaran di hari Sabtu, 10 September 2016 di Seminari Tinggi SVD Malang merupakan salah satu contoh yang sering dilakukan para seniman wayang kulit.
Ditampilkan tembang-tembang campursari atau lagu-lagu Jawa populer yang kini sudah tidak terlalu asing bagi telinga kaum muda. Alat musiknya pun bukan sekedar seperangkat gamelan ditambah elektone seperti biasanya. Tetapi juga dilengkapi dengan drum, gitar, bas, dan drum elektrik. Pemainnya pun tidak berpakain klasik Jawa, tetapi bergaya masa kini termasuk potongan rambutnya. Para wiyaga atau pengrawit atau penabuh gamelan bukan hanya kaum tua tetapi juga kaum muda termasuk sindennya.
Lagu Pepito Mi Corazon lagu Spanyol, Alucia lagu Batak, Massachuset (kami ganti dengan Gubuk Klakah, Sawojajar, Madyopuro, dan juga pernah Jogjakarta), bahkan Dream of Me, dan Vision pun pernah kami tampilkan. Heboh? Geger tentu saja…. Tapi mereka kaget dan senang.
Bukan hanya itu, pada 12 tahun yang lalu saat hari ulang tahun sekolah kami, ditampilkan pula dengan sinar laser. Tentunya, dengan keahlian ki dalang dalam menarikan wayang di depan blencong bisa membuat bayangan wayang dengan wujud kontemporer. Beda dengan gambaran pagelaran konvensional wayang pada masa lalu.
Ki Dalang masa kini pun, menyadari bahwa pagelaran wayang kulit bukan hanya menyampaikan kembali sebuah kisah kritikal yang penuh nasehat moral dan etika secara dogmatis. Tetapi menampilkan juga kekonyolan para tokoh yang selama ini dianggap sebagai panutan yang tak pernah melakukan kejahatan namun berbuat konyol.
“ Oaaalaaa…. kowe kuwi Kresna titisan Wisnu kok ya guuuuoblok ora nganggo rasa ngedepi Ki Semar sing mung duwe gaman entut!”
(Oalaaaa….kamu Kresna titisan Dewa Wisnu kok ya bodoh tanpa menggunakan hati untuk menghadapi Ki Semar yang hanya bersenjata buang angin!”
Ki Semar pun menjadi semakin tersinggung dan membuang angin dari perutnya yang merupakan salah satu senjata Ki Semar yang membuat Kresna dan Baladewa mual dan lari keluar dari dari dalam Padepokan Klampis Ireng tempat tinggal Punokawan. Di luar padepokan pun Kresna dan Baladewa bertengkar dan nyaris berkelahi dengan disaksikan Gareng, Petruk, dan Bagong. Sesuatu yang jarang terjadi atau ditampilkan oleh Ki Dalang tua.
Menarik? Tergantung bagaimana kita mengapresiasikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H