[caption caption="Semburat awan jingga menjelang matahari terbit dilihat dari Penanjakan,"][/caption]Sering kulihat semburat warna jingga di ufuk timur kala Sang Bagaskara mulai tersenyum menyapa dunia. Tak ada yang lebih menarik, sekalipun hanya kulihat dari lantai dua rumah kami yang menghadap ke timur. Persis menghadap ke arah puncak Mahameru yang kadang tampak kokoh berdiri tegar sambil mengepulkan asapnya dari Jonggring Saloka. Namun kadang Mahameru juga tampak lemah kala kabut tipis menutupinya di musim penghujan. Atau debu lembut mengaburkan birunya gugusan gunung gemunung mulai dari timur laut tempat Sang Brama bertahta hingga ke timur tempat persis Mahameru tegar berdiri.
[caption caption="Perbukitan pun mulai terlihat ketika sinar semakin jelas."]
[caption caption="Sunyi, sesunyi Rara Anteng saat menanti terbitnya matahari."]
“Tak ada bedanya. Sama seperti kala kami di atas kapal induk di timur Okinawa atau di puncak tertinggi WTC dulu….,” kata Jeanet seorang mantan prajurit wanita Amerika yang kini menjadi pegawai bank di Dallas.
“Bahkan lebih indah di Grand Canyon…,” lanjutnya.
[caption caption="Senyum sapa Sang Bagaskara ( Mentari ) pagi di ufuk timur Bromo"]
[caption caption="Awan tipis mengalir lembut dari Kaldera Bromo menuju lembah di sisi utara Bromo."]
Ungkapan Jeanet, sering terucap dari para wisatawan yang mengunjungi Bromo dengan menanti dan melihat terbitnya matahari dari Penajakan. Bahkan juga dari wisatawan Nusantara.
Namun, selang 6 – 10 menit kemudian mereka begitu terperangah dan berseru lirih atau malah berteriak: “Waooooooow……”
Sinar lembut matahari yang mulai tersenyum membuka tabir keindahan Kaldera Bromo yang tertutup awan tipis yang menyelimutinya. Bagaikan danau di nirwana yang tenang, awan tipis mengalir terjun ke lembah perkebunan masyarakat Suku Tengger di utara Bromo.
[caption caption="Kala sinar semakin terang Batok dan Semeru menampakkan kegagahannya."]