Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Punk: Kami Manusia Normal yang Beda Gaya Hidup

27 Januari 2016   12:09 Diperbarui: 27 Januari 2016   22:31 3873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang bahkan mungkin kita sering melihat kaum muda jalanan bergaya punk dengan pakaian kumal mengamen di sekitar lampu merah. Macetnya jalanan dan gerahnya cuaca semakin membuat sepet mata melihat mereka mengamen dengan lagu asal-asalan. Kalau toh ada yang memberi sekeping rupiah bukanlah karena ingin bederma tetapi berharap agar mereka segera jauh dari pandangan.
Pandangan Miring Tentang Kaum Punk.

Banyak pandangan miring tentang mereka. Ada yang menyebut kaum pemaham seks bebas, kaum LGBT, pemalas yang hanya suka hura-hura, korban masalah pecahnya keluarga, dan aneka pandangan miring lainnya. Terlalu sulit untuk mengetahui siapa mereka tanpa terjun langsung dan bila perlu mengikuti pergaulan mereka daripada sekedar menduga-duga. Kesalahan menduga tampak jelas saat ada yang menganggap bahwa setiap anak (muda) jalanan adalah kaum punk.

Penulis sendiri pernah terjun langsung dengan tinggal di antara mereka selama tiga hari di sebuah komunitas ini di Jakarta yang saat itu akan mengembangkan sayapnya di beberapa kota Jawa Tengah dan Jawa Timur. Memang waktu yang tak terlalu lama untuk mengetahui dan mengenal mereka secara mendalam. Namun setidaknya bisa diketahui titik terang tentang mereka dan membedakan anak muda jalanan dengan Kaum Punk.

Seperti halnya kaum muda lainnya yang bukan anak jalanan dan Kaum Punk, bahwa ada yang terjebak dalam kehidupan seks bebas, LGBT, penyalahgunaan narkoba, korban keluarga pecah, atau pernah terilbat masalah pelanggar hukum. Tetapi ada juga yang secara moral dan etika mereka adalah orang baik yang tidak mau melanggar hukum dan norma kehidupan masyarakat pada umumnya. Hanya mereka ingin hidup bebas di luar rumah namun tanpa pernah melupakan keluarga sama sekali.


Alasan Mereka Menjadi Kaum Punk.

Selama ini beberapa kali penulis berbincang dengan beberapa komunitas Kaum Punk, seperti saat ada konser SLANK ( Slankmania tak selalu Kaum Punk sekalipun banyak yang menjadi anak jalanan ) serta saat perjalanan dinas dan wisata.

Dari perbincangan dapat diketahui, bahwa ternyata Kaum Punk tak selamanya seperti anak jalanan yang tuna wisma dan tak mempunyai keluarga atau bahkan dari keluarga pra sejahtera. Ternyata mereka pun ada yang berasal dari keluarga yang boleh dikatakan amat sejahtera bahkan boleh dikatakan amat kaya.

Sebut saja namanya Arni (bukan nama sebenarnya), ia berasal dari sebuah kota besar di Sumatera dengan logat bicara sukunya, ia menjelaskan terpaksa harus lari dari rumahnya dan ikut komunitas Punk untuk menjauhi tekanan dari orangtuanya yang memaksa melanjutkan pendidikan yang tak diminatinya. Tapi apa harus keluar dari rumah? Bagi dia rumah bagaikan penjara karena keluarganya ternyata mendukung kehendak ibunya yang ingin anaknya menjadi seorang musisi yang terkenal. Padahal ia mempunyai cita-cita menjadi seorang desainer.

Di depan penulis Arni menunjukkan kelihaiannya dalam memetik gitar yang dipinjam dari temannya yang baru saja mengamen. Sebuah lagu klasik dilantunkan dengan merdu, dan menurut pengakuannya ia menguasai biola dan piano.

Mengapa menjadi pengamen jika tak mau menjadi musisi? Mengamen dilakukan untuk mencari uang secara halal daripada mencuri seperti ayahnya yang sering menyalahgunakan wewenangnya. Ayahnya korupsi? Dia mengangkat pundaknya sambil menjawab lirih sepertinya begitu.


Apa hasil mengamen mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup selama menggelandang? Ardi, teman sekomunitas menjawab, bahwa secara ekonomi ia masih disubsidi oleh orangtuanya lewat kartu ATM yang ia bawa.

Ardi adalah seorang pemuda yang pernah mendapat pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung. Ayah dan ibunya adalah pengusaha yang sukses dan jarang berkumpul di rumah. Ardi sendiri hanya tinggal dengan bibinya sebagai pengasuh yang lebih sibuk dengan dunianya seperti halnya kedua orangtuanya.

Tak mempercayai omongannya, penulis minta bukti kebenarannya dengan melihat saldo ATMnya di sudut pelabuhan. Entah mengapa dia begitu luluh dan mau membuktikan. Sungguh amat mengejutkan dalam printout ada saldo tiga kali gaji penulis!

Beda lagi dengan Janu, ia menjadi anak Punk karena melarikan diri dari kenyataan bahwa ia adalah anak tak mampu. Tak mampu secara ekonomi dan tak mampu mempunyai orangtua yang memperhatikan. Sejak kecil ia tinggal sebuah panti dan kerap menjadi bahan ejekan karena secara akademis ia juga kurang pandai. Tak tahan dengan cemoohan ia pun lari dan menjadi anak jalanan. Tiga tahun mengembara ia bertemu dengan anak Punk yang mengajaknya menjadi teman seperjalanan dan beayanya ditanggung oleh sang penolong ini.

Arni dan Rina, cewek punk yang diajak berbincang dengan penulis secara fisik menunjukkan bahwa mereka bukan anak yang kekurangan. Pakaian dan asesoris sekalipun tampak kumal bukanlah pakaian kelas bawah tanpa brand. Wajahnya yang ceria dan tampak sehat masih menunjukkan mereka bukanlah tunawisma atau gelandangan yang serba kekurangan. Demikian juga tak tercium bau menyengat dari badannya yang seolah tak pernah mandi dan ganti pakaian.


Seks Bebas?

Ketika ditanya tentang ini, mereka hanya tersenyum dengan saling berpandangan. Herman, seorang yang tampak senior menjawab dengan lembut. Boleh jadi ada yang melakukan hal semacam ini, tetapi mereka tak pernah melakukan selama menjadi Kaum Punk.
Artinya pernah melakukan? Tak tau dan coba-coba karena terpengaruh teman atau orang yang seharusnya menjadi teladan ketika mereka masih di simpang jalan tanpa bimbingan kecuali dorongan untuk menjadi ini atau itu yang membuat mereka bukan menjadi pribadi sesungguhnya.


Kapan kembali dalam kehidupan normal?

Agak tesinggung Ardi ketika mereka, penulis menanya tentang ini. Ardi mengaku bahwa mereka adalah manusia normal yang berbeda penampilan atau gaya hidup. Bahwa pada suatu saat mereka akan hidup seperti kebanyakan orang lain tak mungkin tak ada.

“Boleh jadi kami menjadi pasangan dalam berkeluarga atau tetap dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan saat ini. Menjadi teman dalam berkarya dan mencari nafkah. Barangkali suatu saat kami menemukan jalan yang ditunjukkan Tuhan.”

Penulis terhenyak mendengar jawaban ini. Ketika mereka mengambil keputusan untuk menjadi Kaum Punk, mereka merasa dirinya sebagai pengambil keputusan yang mutlak tak tersentuh siapapun atas apa yang harus dijalani. Ternyata jawaban mereka masih mengimani bahwa hidup mereka juga ada campurtangan Tuhan, Sang Maha Kuasa.

Tangan-tangan lembut, sapaan lembut, tatapan mata nan lembut yang bisa kita berikan pada mereka. Bukan prasangka dan pandangan miring yang justru menjauhkan mereka dari kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun