Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Tèkêng, Sosok Kakek yang Enggan Menganggur

26 Januari 2016   11:34 Diperbarui: 26 Januari 2016   13:58 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi barat Pantai Pendawa di Bali merupakan bagian yang paling sepi pengunjung dibanding bagian tengah dan timur yang dekat dengan tempat parkir dan kedai-kedai makanan dan cinderamata. Mungkin karena bagian barat sedikit tertutup ujung bukit yang terjal sehingga menutupi pemandangan laut lepas.

Hingga jam dua siang wisatawan yang berada di sana hanya ada sepuluh orang. Lima wisatawan wanita dari Australia yang asyik bermain air dan seorang yang asyik membaca di bawah terik matahari tanpa peduli ketika penulis mencoba berkenalan. Dan lainnya lima wisatawan lokal termasuk penulis yang sibuk mencari obyek foto menarik.

Sedikit di bawah tebing, seorang pria tua sedang duduk di samping dua kano sambil memandang ke laut lepas. Namanya Pak Tèkêng, menurut pengakuannya berusia sekitar 65 tahun. Belum terlalu tua, bila dibanding dengan penulis. Wajahnya yang keriput dan gigi yang mulai ompong seakan menunjukkan perjuangan keras selama hidupnya.

 


Pak Tèkêng, dulu adalah seorang petani kecil di tanah tandus dan berkapur di Desa Kutuh, Kuta Selatan. Lahannya seluas dua are tak cukup produktif untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maka selain bertani, Pak Tèkêng juga mencari nafkah dengan mencari rumput laut dan ikan gurita yang ada di sekitar karang-karang sisi barat Pantai Pendawa.

Sejak lima tahun yang lalu, sejak pemerintah daerah mengembangkan Pantai Pendawa menjadi daerah tujuan wisata yang baru, Pak Tèkêng dan kebanyakan warga Desa Kutuh kini menjadi pekerja yang ikutserta mengembangkan pariwisata Pantai Pendawa. Ada yang mendirikan kedai makanan, kedai cinderamata, menyewakan payung berteduh, menyewakan kano, atau menjadi karyawan hotel dan rumahmakan yang kini banyak bertebaran di Desa Kutuh.


Pak Tèkêng sendiri kini bekerja menyewakan tiga buah kano dan dua buah payung berteduh di sisi barat Pantai Pendawa. Setiap kano disewakan seharga lima puluh ribu rupiah perjam dan payungnya disewakan lima puluh ribu rupiah sepanjang hari. Pada hari libur atau saat dimana banyak wisatawan berkunjung, Pak Tèkêng bisa menyewakan tiga jam kano atau sebuah payung. Untuk payung jarang yang menyewa karena wisatawan asing lebih senang berjemur kecuali saat hujan. Sedang pada hari biasa justru sering tidak ada yang menyewa sama sekali. Bila dihitung setiap bulan Pak Tèkêng penghasilan hanya sekitar tujuh ratus ribu rupiah. Jumlah yang cukup menurut Pak Tèkêng, untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang kini hanya tinggal Pak Tèkêng dan istrinya, sebab enam anaknya telah bekerja di hotel dan ada mempunyai kedai cinderamata dan yang ada menyewakan kano dan payung pula.

Para pemilik kano dan payung menunggu konsumen.

Bila dilihat dari harga kano untuk satu orang seharga satu juta delapan ratus ribu dan kano dua orang seharga tiga juta lima ratus ribu serta harga payung seharga tiga juta, sebenarnya pendapatan Pak Tèkêng kurang sebanding dengan resiko kano fiber juga mudah retak dan pecah bila terhempan gelombang dan menabrak karang.

Ketika ditanya mengapa Pak Tèkêng memilih di tempat yang kurang strategis, Pak Tèkêng menjawab dengan santai karena ini dilakukan bukan sepenuhnya untuk mencari nafkah selain mengisi waktu luang. Sebenarnya Pak Tèkêng sudah dilarang bekerja selain karena usia dan matanya yang mulai kabur, namun karena tak mau menganggur Beliau dibelikan kano dan payung oleh putra-putrinya dan memilih di tempat yang kurang strategis. Sedang tempat yang strategis ditempati oleh putranya dan kaum muda dari Desa Kutuh.

Pada hari biasa dimana wisatawan sedikit yang berkunjung Pak Tèkêng kembali mencari nafkah sebagai nelayan kecil mencari ikan atau gurita yang terjebak di sela-sela batu cadas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun