1963-1964, entah tahun berapa tepatnya, tetapi yang jelas di antara tahun tersebut saya diajak ikut demonstrasi oleh Bapak. Sebelumnya saya dan teman-teman sering diajari oleh kaum muda saat itu sebuah lagu dengan lirik seperti ini:
Aja rame-rame ana pedhet mlayu rene
Pedhet loreng-loreng mbesuk gedhe dadi banteng
Banteng segitiga kanggo ganyang Malaysia
dan sebuah lagu seperti ini
Ganefo gagasan Bung Karno
Ganefo gagasan Bung Karno
Ganefo gagasan Bung Karno
Republik Indonesia
Apakah syair atau liriknya yang benar seperti, saya agak lupa. Tetapi yang jelas baru dua belas tahun kemudian mengetahui bahwa saat itu demonstrasi mengganyang Malaysia yang menentang dimasukkannya Sabah menjadi bagian Malaysia.
1967 – 1968, merupakan pengalaman ke dua melihat dan ikut demonstrasi. Demonstrasi yang dilakukan oleh Ansor dan Fatayat yang menentang PKI. Demonstrasinya cukup sopan dan lebih bersifat unjuk diri dengan menampilkan permainan drumband dan kesenian tradisional. Tanpa yel yel dan teriakan apalagi dengan poster-poster bertuliskan provokasi. Demonstrasi ini terjadi di sepanjang Jalan Pemuda, Surabaya.
Suatu hari saat ada kampanye, bersama dua rekan sekolah kami membolos dan ikut kampanye sambil membawa poster kertas manila yang cukup menghebohkan: Banteng menyeruduk beringin. Beringin roboh dan menimpa lambang PPP. Akibat tindakan ini kami dicakup ( bahasa halus ditangkap ) aparat ABRI dan dihukum mencabuti rumput di depan gedung aparat tersebut. Kami baru dibebaskan setelah dijemput guru dan Kepala Sekolah.
1982. Saya melepas seragam Korpri yang baru saya terima enam bulan sebelumnya setelah menjadi menjadi CPNS. Ini saya lakukan karena tidak setuju dengan ungkapan sombong seorang menteri dalam kampanye terbuka di depan para guru dan PNS yang mengatakan bahwa PNS adalah abdi masyarakat dan negara, dan negara adalah Golkar. Dengan lantang sang menteri tersebut berteriak yang tidak mau memilih Golkar silakan keluar dari PNS. Saya pun memilih keluar!!!
Tetapi ada satu hal yang cukup menarik, PDI saat itu mulai bangkit. Saya mulai tergugah ikut kampanye bersama istri dan putri sulung kami yang baru berusia 5 tahun serta menjadi penyuplai nasi bungkus. Serta berani unjuk diri dengan memasang bendera partai ukuran 3 X 2 m di atap rumah. Wal hasil, didatangi seorang lurah dan aparat desa yang ketakutan dicopot, karena saat itu boleh dikatakan hanya kami yang berani memasang bendera partai sebesar itu pada masa seperti itu.
Â
1997 – 1998. Masa paling muram dan lebih muram daripada 1965. Banyak pembunuhan dengan alasan dukun santet, kasus ninja, pembakaran terduga pelaku kejahatan dan fitnah-fitnah keji hampir menyeruak di mana-mana. Runtuhnya Orde Baru dan melemahnya pengaruh ABRI membuat negeri ini mabuk reformasi. Saya pun ngeri mengingat kejadian itu. Di mana-mana ada demonstrasi yang lebih banyak dilakukan oleh pasukan nasi bungkus. Saya kembali ke desa tak pernah ikut demo lagi. Muak.