Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lumbung Padi, Kini Tinggal Kenangan

12 Januari 2016   15:54 Diperbarui: 13 Januari 2016   06:26 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Bagi manusia jadul macam penulis, tentu ingat akan tembang campursari karya Ki Nartosabdo yang berjudul Lumbung Desa dan Lesung Jumengglung. Lagu yang menggambarkan secara tak langsung kesuburan tanah Jawa sebagai penghasil padi yang subur. Lagu yang cukup terkenal di awal 70an ini betul-betul menggambarkan bagaimana suasana pedesaan pada masa itu. Penuh kedamaian dan ketenteraman, sekali pun pada masa pertengahan 60an negeri kita mengalami suatu krisis besar dan paceklik luar biasa sehingga yang dulu makan nasi harus makan bulgur.

 

 

Penulis sendiri mengalami dan merasakan bagaimana menjadi petani ( kecil ) dan kemakmuran saat itu, sekalipun masa tanam dan panen saat itu hanya dua kali setahun. Pada masa itu, padi yang dikenal hanya jenis bengawan, jawa, cempa tomat, cempa lele dan ketan yang usia tanamnya sekitar 6 bulan. Pohonnya setinggi sekitar 80 – 90 cm, sehingga saat panen lebih sering menggunakan ani-ani. Sehingga batang yang telah dipetik bisa digunakan untuk keperluan lain, misalnya sebagai kuas untuk mengapur rumah, dibakar untuk penghitam rambut, atau dibakar untuk pengusir nyamuk. Para pemanennya pun kebanyakan wanita sedang para pria yang membawa atau memikul padi dari sawah ke lumbung.

[caption caption="Panen dengan ani-ani."]

[/caption]

[caption caption="Panen dengan sabit."]

[/caption]

Padi yang masih menempel di batangnya disimpan dalam lumbung. Ada yang mengambil padi sesuai dengan kebutuhan ada pula padi yang diambil semua lalu diiles ( diinjak-injak ) agar terlepas dari batangnya atau menjadi gabah. Kemudian gabah dijemur dan jika kering disimpan di gledheg yakni sebuah peti yang terbuat dari kayu dan khusus untuk menyimpan gabah. Gabah kering di gledheg juga diambil secukupnya lalu ditumbuk di sebuah alat yang disebut lesung yang terbuat dari kayu. Padi yang terkelupas dari kulitnya atau menjadi beras lalu disimpan di gledheg.


Gledheg ada yang ditaruh di dalam lumbung ada juga yang ditaruh di sentong yakni sebuah ruangan dalam rumah ( tradisional ) yang khusus untuk menyimpan padi ( gabah ) dan beras. Sentong ada di ruang tengah atau ruang keluarga dan amat disakralkan karena dipercaya tempat Dewi Sri berada dalam rumah tersebut. Tidak semua anggota keluarga boleh memasuki sentong selain mereka yang sudah dewasa atau pandai mencari nafkah ( bertani ).
Pada saat-saat tertentu, sering diadakan selamatan atau kenduri khusus untuk menghormati Dewi Sri dalam sentong agar senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan kesuburan bagi sawah mereka.
Bagi mereka yang tidak mempunyai lumbung dan sentong, padi biasanya ditaruh atau digantung di paga, sebuah tempat untuk menaruh perlengkapan dapur sedang beras disimpan di sebuah tempat yang disebut pedaringan.

[caption caption="Jimeng menjadi tempat kongkow."]

[/caption]
Perkembangan jaman dan teknologi banyak merubah gaya hidup dan pola bercocok tanam. Sejak pertengahan 70an dikenal padi PB 6 dengan usia tanam hanya sekitar 4 bulan. Ketinggian pohon pun hanya sekitar 60 cm, sehingga terlalu sulit jika harus memanen dengan menggunakan ani-ani. Menyabit pangkal batang padi lebih sering digunakan lalu langsung digeblok untuk melepas gabah dari batangnya. Selanjutnya gabah dijemur hingga kering kemudian langsung diselep untuk dijadikan beras.
Menyempitnya lahan pertanian untuk pemukiman semakin menghilangkan budaya sakral panen padi. Sebuah tradisi yang dulu bisa mengakrabkan hubungan sosial warga ( pedesaan ) kini boleh dikatakan sulit ditemui. Penulis sendiri terakhir merasakan suasana tersebut saat dalam perjalanan ke Jogja pada Juni 2015 yang baru lalu. Saat itu sedang di tengah perjalanan ketika sampai di Ngawi melihat panen raya padi, sontak terpanggil ikut bersuka ria memetik padi. Serta saat berada di Sleman seperti yang diceritakan di postingan ini: http://www.kompasiana.com/aremangadas/keceriaan-dan-kebahagiaan-di-balik-tubuh-renta-buruh-tani-pemanen-padi_55b96790397b611e2929e81e

[caption caption="Sawah terdesak pemukiman."]

[/caption]

Sedang semaraknya menumbuk padi seperti yang dilukiskan oleh Ki Nartosabdo dalam tembang Lesung Jumlenggung terakhir dialami penulis pada tahun 1973 saat sunatan penulis. Memang penulis pernah melihat juga tahun 2007 di Kampung Naga dan Badui, tetapi sudah tidak semeriah dulu.
Kesuburan Tanah Jawa memang masih terjaga hanya karena penyempitan lahan dan perubahan pola tanam akibat perkembangan teknologi produksi beras kini mulai menurun. Bahkan, di semester akhir 2015 telah masuk 820 ribu ton beras impor dari negara tetangga.
Perubahan pola tanam dan teknologi ini juga mengakibatkan tidak berfungsinya lumbung padi, gledheg, sentong, dan pedaringan. Di tanah Jawa hanya di Badui dan Kampung Naga masih ditemui lumbung padi. Di Bali hanya sekitar Palasari, yang dikenal dengan nama jimeng. Dan kini lebih berfungsi sebagai tempat istirahat atau jagongan saat istirahat.
Sedang sentong masih banyak ditemui pada rumah-rumah tradisional di pedalaman Jawa, tetapi lebih berfungsi sebagai gudang. Demikian juga gledheg lebih berfungsi sebagai menyimpam perlengkapan rumahtangga. Dalam Bahasa Jawa diistilahkan ‘kanggo nyimpen bekethekan’

[caption caption="Sawah di Purworejo, Kabupaten Malang. Masih hijau."]

[/caption]
Satu hal yang kadang terlihat agak berbeda, sekalipun sudah tidak mengenal lagi tentang ritual panen padi tetapi masih ada keluarga yang menggantungkan padi di atas pintu masuk bagian dalam rumah atau di salah satu sudut rumah sebagai tanda bahwa keluarga ini sejahtera karena padi yang melimpah. Tentunya ini sebagai tanda keyakinan bahwa keluarga ini masih selalu bersyukur atas nikmat yang diterima dari Yang Maha Kuasa.

[caption caption="Tanda telah menerima kelimpahan dari panen padi."]

[/caption]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun