Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bunga Kecubung, Indah Warnanya dan Memabukkan

5 Januari 2016   21:35 Diperbarui: 4 April 2017   17:19 1987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua warna bunga kecubung yang tumbuh liar di tebing-tebing atau di tepi hutan. Kecubung putih dan kecubung ungu. Bunga ini disebut kecubung mungkin warnanya yang ungu seperti batu permata atau batu akik kecubung. Mungkin sebaliknya, batu akik yang berwarna ungu disebut kecubung karena warnanya seperti bunga kecubung.

Bunga kecubung bentuknya sebenarnya tak terlalu menarik, seperti terompet tetapi menengadah ke atas. Tak berbau dan bentuknya lebih kecil dari daunnya sehingga kurang menarik untuk jadi tanaman hias sekalipun. Hanya warnanya yang ungu dan putih menjadi tampak indah.
Di pedesaan yang hawanya dingin tanaman ini mudah ditemukan yang tumbuh secara liar maupun ditanam di pekarangan untuk jamu atau tanaman obat keluarga.

Ada yang mengatakan tanaman ini berkasiat untuk menghilangkan rasa sakit, misalnya gigi atau ngilu dengan cara dioleskan. Hanya saja penulis belum pernah mencoba untuk pengobatan seperti ini. Tetapi saat kecil penulis pernah merasakan sensasi yang cukup membuat membius. Kala itu, penulis disunat secara tradisional dengan menggunakan potongan kulit bambu yang tajam dalam Bahasa Jawa disebut silatan pring tanpa obat bius. Tentu saja rasa sakit amat sangat sampai di ubun-ubun serta seperti menusuk ulu hati.

Rasa sakit yang amat sangat ini membuat gelisah dan sulit tidur. Malam hari ketika rasa sakit tidak juga pergi, Sang Calak atau Dukun Sunat mengoleskan remasan daun yang dioleskan di dahi penulis. Beberapa saat kemudian, penulis tertidur dengan mimpi yang aneh dan rasa sakit hilang hingga keesokan siangnya. Sore harinya ketika rasa sakit muncul lalu diolesi kembali. Terbuai dan tidur lagi. Anggapan penulis saat itu karena jampi-jampi sang dukun sunat atau calak tersebut. Beberapa hari kemudian baru tahu dari beberapa tetangga bahwa penulis telah dibius dengan daun kecubung.


Khasiat kecubung yang bisa membuat seseorang terbius ini, oleh sebagian masyarakat disalahgunakan untuk sedikit melupakan dunia dengan bermabuk ria. Jika mabuk dengan minuman keras biasanya berlangsung antara 1 atau 2 jam, maka mabuk kecubung bisa berlangsung selama dua atau tiga hari. Mabuknya pun bukan sekedar ‘fly’ tetapi otak betul-betuk terhalusinasi dengan bayangan yang aneh. Gambar poster yang ada di depan bisa menjadi wajah orang yang memaki kita dan membuat kita ketakutan. Atau orang yang tersenyum seperti mengolok-olok yang membuat kita malu sambil tersenyum-senyum lalu bersembunyi di dalam kamar, di balik pintu, atau di rerimbunan perdu. Suara musik rock dan dangdut yang menggelegar bagaikan suara dentuman meriam saat perang. Betul-betul membuat gila!

Bagi masyarakat pinggiran atau pedesaan, kecubung sering digunakan untuk mengerjai seseorang yang dianggap sering membuat sesuatu yang menjengkelkan atau mungkin sekedar guyonan walau sebenarnya kurang pas. Tapi itulah gaya orang pinggiran dalam bergaul.
Misalnya, daun kecubung dimasak dengan teh dengan diberi gula merah lalu disajikan untuk diminum. Bagi yang tak curiga, selesai minum tentu akan mabuk. Jika kadarnya sedikit paling merasakan badan menjadi ringan seperti melayang, tetapi jika kadarnya tinggi pasti akan mabuk setengah gila.
Kini, sudah jarang orang yang mabuk kecubung kecuali mabuk batu akik kecubung.

 * Foto dokumen pribadi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun