[caption caption="Suket Ijen, Suatu Wilayah Kawah Kuno di Kaldera Bromo"]
[/caption]Bagi wisatawan yang pernah berkunjung ke Bromo, setelah melihat matahari terbit biasanya dilanjutkan ke puncak Bromo lalu ke Ngadisari dan selanjutnya ke Air Terjun Madakari Pura. Atau ke puncak Bromo lalu ke Jemplang melewati kaldera dengan lautan pasir serta padang savanna selanjutnya bisa ke Ranu Pani dan Puncak Semeru. Atau dari Jemplang langsung ke Ngadas dan Tumpang, Malang.
Ketika melewati lautan pasir, biasanya para wisatawan sekedar berfoto di sekitar daerah ‘pasir berbisik’ yang diambil dari nama sebuah film nasional tahun 80an. Jarang para wisatawan menjelajah di daerah tersebut selain karena keadaan udara yang bertolak belakang dengan cuaca. Suhu cukup dingin, sekalipun di musim kemarau namun sinar matahari amat terik sehingga bisa membakar kulit. Wajah menjadi kusam terkena debu dan menjadi kemerahan saat sampai di rumah dengan cuaca yang berbeda. Rasa panas di kulit wajah sungguh ‘pating clekit’.
[caption caption="Suket Ijen di Kaldera Bromo"]
[/caption]Jika menjelajah di musim hujan, sedikit agak lumayan enak karena pasir menjadi padat dan mudah dilalui kendaraan terutama roda dua. Tetapi mendung yang menggelayut akan menutupi wajah indah perbukitan dan puncak Bromo serta Batok. Bahayanya, jika ada halilintar tentu kita jadi miris takut disambar petir. Siapa pun pasti takut. Saya sih tak terlalu takut hanya tak mau disambar. Jadi kalau mendung menggelayut langsung ngibrit sambil komat-kamit agar selamat sampai di rumah.
Selama beratus kali melintasi lautan pasir, menjelajahi daerah tersebut tak lebih dari 25 kali. Padahal di sana ada tempat yang dikenal dengan sebutan Watu Kutha serta satu tempat yang belum bernama dan berada agak ke timur atau sedikit mendekati tebing sisi timur Bromo. Tentang Watu Kuta akan kutulis nanti, tetapi tempat tak bernama ini kuulas sekarang.
[caption caption="Saat musim hujan menuju Suket Ijen di Kaldera Bromo"]
[caption caption="Sambil menunggu bantuan, dua putri kami mencari Suket Ijen."]
Tahun 2003, kembali menengok kesana sendirian. Keadaannya tak berubah. Dan, masih bisa menghisap kalau diberi beban berat seperti batu. Keyakinan itu adalah pasir hisap muncul kembali tapi tak terlalu percaya bahwa di lautan pasir Bromo ada pasir hisap.
[caption caption="Jutaan metrik ton pasir dan debu menimbun kawasan tersebut, Suket Ijen tetap bertahan."]
Setelah berkali-kali ke sana sendirian, tahun 2008 dan 2010 saya kembali ‘meneliti’ kembali dengan mengajak seorang ahli geolog, seorang dosen pertambangan PTN di Malang dan mengatakan memang benar itu adalah salah satu kepundan di antara puluhan kawah kuno. Jadi bukan pasir hisap seperti yang kuduga semula.
Januari 2011, saat menghantar masker lalu terjebak di lumpur lautan pasir di tengah letusan Gunung Bromo, kami sekeluarga mencari daerah tersebut apakah masih ada. Sambil menunggu bantuan selama 30 menit kami berhasil menemukannya walau keadaannya sedikit berubah karena tertutup batu dan pasir. Namun, onggokan rumputnya masih ada.
Walau gemuruh dan semburan debu vulkanik Bromo awal 2011 demikian menggelora tetap kami selamat. Kami berdoa mengucap syukur dan untuk mengenang daerah tersebut kami menyebut daerah tersebut dengan sebutan ‘Suket Ijen’ artinya rumput yang tumbuh sendirian.
[caption caption="Akhir November 2015, Suket Ijen tak sendirian lagi. Sudah punya teman seonggok rumput sejenis. Mungkin anaknya atau pasangannya."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H