Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Undangan Jamuan Makan

31 Desember 2015   08:54 Diperbarui: 31 Desember 2015   09:25 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Nyadran, jamun makan bersama di area pemakaman masyarakat Suku Tengger sebagai ucapan syukur atas keselamatan dan kesejahteraan seluruh warga desa"][/caption]

Jamua makan siang atau malam, dimanapun juga sudah menjadi tradisi dalam masyarakat untuk perayaan sebuah ucapan syukur atas kebahagiaan yang dirasakan. Misalnya syukuran atas perkawinan, kelahiran, ulangtahun, dan bahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Dalam budaya Jawa, biasanya ucapan syukur tidak selalu dengan jamuan makan, tetapi dilakukan dengan memberi hantaran makanan tradisonal. Kalau toh, ada acara semacam jamuan makan biasanya bersifat sederhana, yakni kenduri.

[caption caption="Jamuan makan setelah acara Tirto Aji menjelang Upacara Kasada, Suku Tengger."]

[/caption]

Dalam perkembangan selanjutnya, karena pengaruh budaya lain jamuan makan menjadi semacam sarana untuk melakukan komunikasi timbal balik agar terjalin saling pengertian. Biasanya, jamuan makan seperti ini tanpa ada acara resmi yang bersifat protokoler. Kalau ada sebuah maksud yang ingin disampaikan, akan diutarakan secara santai walau kadang agak berbasa-basi.
Dalam tradisi Jawa terutama di pedesaan yang masih kental hubungan kekerabatan, setiap tamu yang datang apalagi yang dikenal senantiasa akan disambut dengan kegembiraan dan dijamu dengan makan sekalipun dengan hidangan yang sederhana. Bahkan dalam sebuah pesta perkawinan, ketika datang akan langsung diminta segera makan. Setelah berbasi-basi dengan acara tradisonal lainnya di penghujung acara pun disuguhi makan kembali. Bahkan saat pulang pun masih diberi bungkusan makan dan kue.

 [caption caption="Jamuan makan malam sederhana untuk tamu dari sebuah SMU di Australia."]

[/caption]
Pada masyarakat Suku Tengger, terutama saat ada perayaan atau upacara tradisional jamuan atau suguhan makan menjadi sesuatu yang mutlak. Siapa yang datang bahkan sekedar lewat akan dipanggil dan diundang untuk makan bersama di dalam rumah. Dan, jangan sampai menolak atau tidak mencicipi sama sekali makanan yang disediakan. Misalnya, hanya mengambil sedikit kue dan tidak mau makan nasi yang disediakan. Ini akan sangat membuat mereka kecewa karena dianggap tidak mau ikut bersyukur.
Jika kita mendapat undangan jamuan makan, sebaiknya mau menghadiri dan ikut makan sesuai dengan hati nurani kita. Dan, jika tidak bisa hadir sebaiknya memberitahu yang mengundang dengan alasan yang tepat.
Bila dalam jamuan kita tidak senang atau tidak diperbolehkan menyantap makanan yang disajikan sebaiknya tidak disampaikan secara terbuka, cukup mengambil yang pantas dan layak dicicipi.

[caption caption="Menjelang jamuan makan siang ala desa."]

[/caption]

Pada masa kini, jamuan makan sering tidak dilakukan di rumah sendiri dengan alasan tidak mau ribet thethek bengeknya. Jamuan makan sering diadakan di kafe-kafe atau warung lesehen, tergantung selera dan kantong yang mengundang.
Siapa yang diundang dalam jamuan makan atau kenduri, tentu tergantung si pengundang. Tentu ada beberapa alasan mengapa Si Budi mengundang Si Yudi dan tidak mengundang Si Ali, sekalipun mereka berteman atau bertetangga.
Semisal, Si Henry seorang perantauan dari Flores merasa bahagia setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di Jawa. Sebagai ungkapan rasa syukur, ia mengadakan sebuah pesta kecil bersama komunitasnya yang beranggota warga Flores dengan masakan daging babi. Menyadari, bahwa makanan ini kurang disenangi dan merupakan makanan haram bagi Si Ali maka Henry pun tidak mengundangnya sekalipun tetangga sebelah rumah.

[caption caption="Makan bersama saat Upacara Karo, bersama tetua adat."]

[/caption]
Suatu hari, penulis juga pernah diundang kenduri khitanan oleh tetangga yang Muslim. Sebagai tetangga yang baik tentu penulis tidak menolak dan hadir serta duduk agak di luar. Namun demikian kehadiran penulis kurang berkenan bagi sebagian undangan yang tidak seiman dengan penulis. Ini nampak dari bahasa tubuh yang mereka tunjukkan. Tak ingin kehadiran penulis menjadi sebuah ganjalan dan menghormati hati nurani undangan lainnya, maka secara santun penulis minta agar tidak diundang lagi dalam kenduri. Namun akan siap membantu jika diperlukan untuk menyiapkan segala sesuatunya.
Dua kejadian di atas hanyalah sebuah contoh saja, dan masih banyak lagi contoh lain yang dirasakan setiap orang. Dan, tentu saja harus disadari sebagai sebuah kejadian yang wajar dan tak perlu diperdebatkan.
Jamuan makan adalah salah satu sarana untuk mempererat komunikasi dan tali persaudaraan yang dapat juga dilakukan dengan cara yang berbeda. Maka jamuan makan jangan sampai menjadi perselisihan.

[caption caption="Jamuan makan sedehana gaya anak sekolah dasar menjelang kenaikan kelas."]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun