Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anggarap Sari, Nalika Kembang Wiwit Mekar

4 Oktober 2015   15:49 Diperbarui: 4 Oktober 2015   18:08 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menstruasi Pertama, Tanda Kedewasaan Fisik Bagi Wanita

1973. Desa Karangjepun
Panas matahari begitu menyengat sekalipun mendung menggantung di langit dan semilirnya angin selatan menandakan akan hujan atau setidaknya akan gerimis.
Kilat menyambar-nyambar seperti aka nada petir yang akan menyambar dangau tempat aku istirahat setelah memancing belut.
Kulihat sawah sebelah kiri dan kanan sudah tak ada orang sama sekali. Padahal biasanya Mbok Santun dan Paman Atim pulang terakhir. Entah, mengapa sekarang aku agak takut keadaan seperti ini. Maka kuputuskan segera pulang.
Agar terhindar dari sambaran petir yang tak terduga, aku berjalan lewat pematang di pinggir parit (sungai kecil untuk irigasi) di bawah rumpun bambu. Sebenarnya aku enggan lewat situ, karena begitu rimbun dan berduri serta sering kujumpai ada ular.
Namun yang membuat merinding, rumpun bamboo di situ dianggap angker karena menurut cerita Mbah Min pada tahun 1948 ada yang dianggap mata-mata Belanda yang kemudian dihabisi para pemuda pejuang kala itu.
Baru berjalan sekitar dua ratus meter, tiba-tiba ada kelapa muda kering jatuh tertiup angin menimpa tengkukku. Tentu saja aku kaget, langsung lari dan terpeleset ke parit. Badan dan celanaku berpeletotan lumpur dan kotoran bebek yang sering digembalakan Paman Sardi di situ.
Dalam hati aku mengumpat betapa bodoh dan penakutnya diriku. Padahal di desa aku dianggap anak pemberani. Dengan mengomel aku berjalan ke timur menuju kucur atau pancuran bambu untuk membersihkan badan atau mandi juga.
Kucur adalah pancuran bambu yang mengalirkan air dari sawah yang lebih tinggi ke sawah yang lebih rendah. Kucur biasanya digunakan untuk membersihkan diri para petani setelah bekerja di sawah. Karena padi banyak yang sudah disiangi (dibersihkan dari rumput gulma) namun belum berbunga maka dari itu sekarang jarang ada petani yang ke situ. Hanya kadang ada anak laki-laki yang baru saja memancing belut bermain di situ.
Dengan setengah berlari, aku menuju kucur. Betapa kagetnya, ketika sampai di sana ada anak putrid jongkok tapi tidak mencuci atau mandi. Karena saya akan membersihkan diri, maka tidak meninggalkan tempat. Menunggu di bawah pohon rukem (buah kecil rasanya manis dan kecut, tapi pohonnya agak besar).
Agak lama menunggu namun tidak juga selesai, maka kudekati. Wajahnya pucat ketakutan dan berkata lirih: “Kik tolong aku… vaginaku berdarah!”
Aku yang kaget semakin kaget dan terbengong-bengong. “Vaginamu digigit ular ya?”
“Tidak jua, entah kenapa?” kata Sri Asih sambil menunjukkan celana dalamnya yang kena darah.
Dengan setengah ketakutan, setengah kaget, setengah bengong, setengah terpana aku berpesan,“ Sudah tunggu di sini, aku akan panggil Bibi Pingi.”
Bu Pingi adalah tetanggaku tapi seperti ibu sendiri. Banyak anak-anak yang akan bermain ke sawah atau mencari sisa panenan kacang biasanya mampir ke rumahnya. Malah sering diberi mangan sekalipun hanya dengan lauk ikan asin dan sayur labuh siam atau kangkung dan sambel oyek.
“Bi..Bibi… Sri Asih menangis di pancuran karena vaginanya berdarah, padahal tidak jatuh, tidak digigit ular atau tertusuk.”
“Walah kamu kok ya tahu saja to? Sudah jangan mandi bersama lagi. Sekarang Sri Asih sudah besar dan sudah menikah.”
“Tidak kok. Tadi saya dari memancing belut.”
“Mana belutmu
“Waduh tertinggal di pancuran….!”
“Hayoooo…jangan macam-macam!” kata Bibi Pingi sambil tersenyum.
“Tidak Bi… Sungguh!”
“Ayo temani aku ke pancuran,” kata Bibi sambil menyahut celana dalam yang dijemur di samping kiri rumah.
Sesampainya dekat pancuran, aku disuruh menunggu. Bi Pingi mendekati Sri Asih yang jongkok ketakutan. Entah apa yang dibicarakan dan dilakukan mereka berdua. Setelah beberapa lama, keduanya keluar. Sri Asih agak ceria namun agak malu melihat ada aku. Aku hanya tersenyum seperti Bi Pingi yang melirik aku bingung.
Sepanjang perjalanan Bibi menjelaskan:
“Itu yang disebut datang bulan atau menstruasi. Pertanda anak putri sudah dewasa. Hla kamu belum datang bulan pertama sudah dinikahkan oleh Emakmu. Sekarang harus mencuci pakaian, memasak, malam harus menemani suamimu, iya kan? Emakmu memang orang yang tidak mengerti….”
“ Hla kamu kok ya mau disuruh menikah….” Sahutku sok.
“Asih kan tak ngerti juga kan? Coba kalau mengerti ya tak akan mau dan sekolah seperti kamu.”
Sesampainya di rumah Bu Pingi, aku dan Asih tak boleh segera pulang lalu diterangkan tentang seksualitas dan hidup berkeluarga.
“Sebenarnya anak putri belum layak menikah jika belum datangbulan pertama. Karena belum dewasa. Maka dari itu, saat bercinta pertama kali anak putri takut dan merasa sakit sehingga vaginanya mengeluarkan darah sedikit. Jika sudah dewasa berarti sudah siap lahir batin, tak takut atau kesakitan sampai mengeluarkan darah.”
Bu Pingi, memang salah satu Ibu yang disegani di desaku. Sekalipun hanya lulusan Sekolah Rakyat jaman dulu tetapi mempunyai sikap keibuan. Karena Beliau, aku sedikit mengerti tentang pendidikan seksualitas. Demikian juga Sri Asih menjadi tambah mengerti, sekalipun sudah menikah. Tetapi pernikahannya karena dijodohkan dan kehendak orangtuanya saat Sri Asih masih 13 tahun.
Bu Pingi, memang salah satu Ibu yang disegani di desaku. Sekalipun hanya lulusan Sekolah Rakyat jaman dulu tetapi mempunyai sikap keibuan. Karena Beliau, aku sedikit mengerti tentang pendidikan seksualitas. Demikian juga Sri Asih menjadi tambah mengerti, sekalipun sudah menikah. Tetapi pernikahannya karena dijodohkan dan kehendak orangtuanya saat Sri Asih masih 13 tahun.

2015
Sabtu kemarin, aku mengunjungi Bu Pingi yang masih hidup. Aku kesana karena Jumat kemarin mengalami kejadian seperti 42 tahun yang lalu. Saat siswiku tak sadarkan diri gegara tidak mengerti sedang menstruasi. Dia terkejut, takut, dan tak sadarkan diri di depan kamar mandi.
Ketika ibunya dipanggil ke sekolah, mengaku jika belum pernah memberi pengertian tentang kewanitaan dan menstruasi.
Jaman sudah maju, namun masih banyak orangtua yang risih menerangkan seksualitas pada putra-putrinya. Mereka justru mengerti dari majalah, tabloid, suratkabar, internet, teman dan juga orang lain.
Nah jika demikian bagaimana…?

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun