Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Suami Istri: Pasangan Seumur Hidup

22 September 2015   10:42 Diperbarui: 22 September 2015   11:30 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal 80an, Supardi bekerja sebagai supir bis antar kota antar provinsi dengan pendapatan yang cukup lumayan bagi seorang pemuda. Tujuh tahun kemudian, ia menjadi sopir bis malam jurusan Jakarta dengan honor yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan bekal honor rutin ia pun menikah dengan seorang wanita yang mencintainya.
Nasib baik tak selalu hinggap pada hidupnya. Tiga belas tahun setelah pernikahan, Supardi mengalami kecelakaan yang mengakibatkan beberapa penumpang meninggal dunia. Vonis pengadilan menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara. Sang istri tercinta tetap menemaninya sekalipun tak pernah lagi memberi uang belanja selain hanya menghabiskan tabungan yang ada.
Setelah bebas ia kembali bekerja sebagai seorang sopir praoto di sebuah ekspedisi. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Dua tahun baru menjalani, ia harus menghabisi dua orang bajing loncat yang akan membajak kendaraannya. Setahun ia kembali meringkuk dalam penjara.
Dunia terasa begitu kejam, setelah bebas ia kembali menjadi sopir mobil pribadi. Beberapa kali ia berganti juragan, selain honor yang pas-pasan juga karena sikap pemilik yang bergaya boss dengan sikap yang kurang manusiawi.
Kini setelah anaknya bekerja dan menikah, ia kembali ke desa yang tandus dan kurang subur. Rumahnya yang bagaikan gubuk dan jauh dari standar kesehatan tapi memberi dia rasa nyaman dan bahagia karena bisa melupakan kepahitan yang pernah ia rasakan di kota. Hidup jauh dari ukuran kesejahteraan seperti yang pernah ia impikan bersama Suparti, istrinya yang setia.
                                                                                0 0 0 0 0

Suparman hanyalah anak seorang buruh tani di pinggiran barat Malang. Pertengahan 50an ia menikah dengan gadis sedesa. Berbekal ketrampilan yang ada selain menjadi buruh tani ia juga berdagang sayuran di pasar desa. Berjalan pelan penuh kehati-hatian, ia berhasil menjadi seorang pedagang sayur yang sukses dan memiliki bedak sendiri. Lima puluh tahun sudah usia perkawinannya. Kini sawah dan bedak diolah oleh empat anak-anaknya yang mulai mapan.
Tampaknya keluarga Suparman aman-aman saja. Sebenarnya di awal tujuh puluhan, keluarganya hampir pecah saat digoyang isu bahwa istrinya tergoda pria lain saat Suparman berdagang di pasar. Sebagai lelaki ia sempat cemburu namun pada akhirnya semua dapat diselesaikan dan keluarganya tetap utuh di usianya yang lebih dari delapan puluh tahun.
                                                                                    0 0 0 0 0


Kisah di atas bukanlah fiksi. Penulis sendiri sering bicara dengan pasangan-pasangan lansia di pinggiran atau pedalaman selatan, barat, dan timur Malang. Bahwa kasus perceriaan pada lembaga sakral keluarga masih sering terjadi pada pasangan muda. Banyak alasan mereka melakukan perceraian seakan tiada lagi pemecahan dalam setiap masalah yang dihadapi. Selain masalah ekonomi dan kehadiran pihak ke tiga, terbongkarnya kekurangan pada pribadi pasangan menjadi alasan perceraian. Amat menyedihkan. Namun kelanggengan hidup bersama pasangan tercinta adalah teladan yang dapat menjadi inspirasi bersama.
                                                                                         0 0 0 0 0


Benarkah jodoh kita hanya sebatas itu?
Sehidup semati seperti yang diikrarkan saat mengucap janji bukanlah bualan semata. Tetapi tanda kasih yang berlaku seumur hidup. Pasangan bukanlah sosok yang harus bisa memberi kebahagiaan, tetapi sahabat seperjalanan dalam mendapat kebahagiaan bersama. Terjangan badai dan gelombang atau pun hujan dan panasnya kehidupan seharusnya mempererat diri untuk saling menguatkan bukan menyalahkan. Bukannya dingin malam apalagi hujan saja yang mempererat diri dalam pelukan kehangatan bercinta.


Pasangan haruslah seperti dua pulau tebing kecil yang berdiri tegak di tengah samudra yang setiap hari dihembus angin dan badai atau hantaman gelombang namun tak mmenggoyahkan mereka. Hanya waktu atau kematian yang akan memisahkannya. Bukan perselisihan atau salah satu tak bisa member yang diharapkan.
                                                                                     0 0 0 0 0


Lagu langgam Jawa dari RRI Surakarta yang berjudul Tali Ati di bawah ini mungkin bisa menjadi bahan renungan bagi siapa saja yang akan dan sedang mengarungi bahtera kehidupan berkeluarga.

Tali Ati
Gegarane wong akrami,
dudu banda dudu rupa
Amung ati kawitane
Luput pisan kena pisan
yen gampang luwih gampang
Yen angel angel kalangkung
Tan kena tinumbas arto

Kelik isin kaya ngapa mung nyatane kelakon seprene
Angger-angger gedra wekasane malah teka tresno
Dudu bandha dudu rupa mung atine dadi tetaline
Kaya rukun kadyo tetibane mimi lan mintuna
Wus jamak lumrahe, yen wong urip coba lan bebane gedhe
Supradhene nora nganti ndadak dadi gawe
Rina wengi dadi ati mung prasaja tulus bebatine
Sabar mrih gemati kakung putra njaga lair batine

Arti dalam Bahasa Indonesia

Pengikat Hati

Memutuskan untuk menikah, bukanlah karena harta atau kecantikan
Tetapi karena hati ( saling mencintai ) sebagai awal dari cinta
Jika lepas memang akan terlepas
Namun akan menjadi muda jika kita tak mempersulit diri
Bila sulit memang tak mudah dijangkau
Namun tak bisa dibeli dengan uang ( harta )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun