Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mencari Kayu Bakar di Tepi Hutan dan Kucing-kucingan dengan Petugas Perhutani

25 Agustus 2015   07:35 Diperbarui: 25 Agustus 2015   08:34 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pedesaan dan pedalaman, kebutuhan kayu untuk dijadikan bahan bakar terutama untuk kebutuhan bahan bakar dapur masih banyak digunakan. Di wilayah pinggiran perkotaan pun juga masih ada yang menggunakan. Sekalipun hampir di semua wilayah untuk mendapat bahan bakar gas atau elpiji sudah mudah diperoleh dan harganya pun cukup murah.

Pemakaian kayu bakar di wilayah perkotaan yang padat memang cukup riskan. Percikan api atau bara yang tersisa bisa menjadi pemicu kebakaran. Selain asapnya bisa mengganggu pernapasan dan mata. Tetapi bagi warga pedesaaan dan pedalaman, asap bisa menjadi pengusir serangga dan nyamuk.


Bagi masyarakat Suku Tengger di wilayah Bromo dan Semeru, kebutuhan akan kayu bakar lebih dari masyarakat lain. Atau setidaknya sama dengan kebutuhan masyarakat pedalaman Papua. Hal ini karena iklim di sana amat dingin (bisa mencapai 6°C), terutama pada musim kemarau. Itu sebabnya, dapur (Jawa: pawon) bagi masyarakat Suku Tengger bukan saja tempat untuk memasak, tetapi juga untuk berkumpul bersama keluarga atau menerima tamu sambil menghangatkan diri di sekitar bara kayu bakar di dapur. Karena keberadaannya yang amat dibutuhkan inilahdapur atau pawon menjadi tempat yang cukup disakralkan, seperti halnya sentong dan pedaringan bagi masyarakat tradisional suku Jawa.


Ada pendapat bahwa kebutuhan akan kayu bakar di pedesaan dan pedalaman menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan. Sebab banyak warga yang melakukan penebangan secara liar. Boleh jadi pendapat ini cukup benar. Tetapi kesadaran masyarakat akan kelangsungan ekosistem dan bahaya kerusakan hutan saat ini sudah cukup bagus. Ditambah lagi pengawasan dari pihak Perhutani yang cukup ketat, penebangan liar mulai menurun.

Pihak Perhutani pun tidak melarang masyarakat untuk mencari kayu bakar di hutan asal tidak menebang pohon yang masih hidup. Tetapi memotong cabang kayu yang telah tumbang atau mati. Itu pun dengan catatan bukan cabang atau batang dengan diameter lebih dari 20 cm. Bila ada pohon besar dengan diameter lebih dari 20 cm tidak boleh dipotong dan menjadi hak milik Perhutani. Maka jika ada penebang yang ketahuan membawa kayu yang masih basah apalagi potongan kayu yang besar akan dianggap sebagai pencurian atau penebangan liar.

Di sinilah permasalahan timbul, ada warga yang curang dengan cara sengaja mematikan pohon dan setelah beberapa minggu atau bila sudah kering akan ditebang. Untuk menghindari patroli dari penjaga hutan, biasanya mereka membawa pulang saat sore hari atau pada saat hujan deras di mana para petugas sudah tak ada lagi. Bahkan, belahan kayu besar kadang diselipkan di antara tebangan kayu perdu atau rumput pakan ternak. Namun, bukan berarti bila ada warga yang membawa kayu bakar pada sore hari atau saat hujan artinya membawa hasil penebangan liar. Pihak penjaga hutan pun tidak gegabah akan menganggap dan menangkap adanya penebangan liar.


Di lain pihak, banyak warga enggan melakukan penebangan liar karena risiko tertangkap dan hukuman yang harus diterima bila tidak bisa membuktikan tempat penebangannya. Hukuman yang pernah dirasakan oleh para penebang liar selama ini (menurut pengalaman penulis) memang tidak berat, hanya disuruh menanam seratus bibit pinus di pinggir hutan. Risiko lain adalah faktor alam yang cukup berbahaya bagi keselamatan diri dan ketahuan mencuri itu yang paling memalukan.

“Mencuri kayu bakar saja ketahuan!” seloroh para tetangga dalam bahasa Jawa. 'Nyolong kayu kanggo masak wae ketemon…’
Sama halnya dengan mencari rumput pakan ternak, mencari kayu bakar mempunyai risiko digigit atau disengat hewan liar. Serudukan celeng atau babi hutan bukanlah hal yang mustahil. Demikian juga "senyuman manis Simbah" atau sapaan sang harimau yang melumpuhkan kaki sekali waktu akan ditemui.


Satu hal kadang ada yang amat disayangkan, ada pengelola hutan dan pemilik perkebunan yang membiarkan potongan kayu atau pohon yang dibiarkan terbengkalai tidak dimanfaatkan dengan baik. Seharusnya jika memang tidak digunakan lebih bagus jika diberikan kepada warga yang menggunakan kayu bakar.

Masyarakat pinggiran (kota) biasanya mencari kayu bakar dengan memanfaatkan semak belukar yang mati atau memangkas dahan-dahan di kebun. Hanya saja, bara kayunya tidak sebagus pepohonan tanaman keras dan asapnya pun lebih tebal. Ada juga warga yang memanfaatkan kayu-kayu sisa atau bongkaran bangunan.

Jangan coba-coba memotong pohon yang roboh ini!

Sungguh ini bukan pencuri kayu!

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun