Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keceriaan dan Kebahagiaan di Balik Tubuh Renta Buruh Tani Pemanen Padi

30 Juli 2015   06:53 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:05 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memetik hasil tanam atau panen merupakan saat yang paling ditunggu oleh para petani. Sekalipun hanya petani buruh. Ikut menanam, merawat ( Jawa: matun ), hingga panen ( Jawa: derep ) dengan hasil yang memuaskan merupakan merupakan kebahagiaan tersendiri.

Demikian juga bagi Mbah Sarinem, Mbah Piatun, Mbok Sriasih, Mak Juwariyah, dan Bu Minah di Desa Widodo Martani, Sleman masa panen kali ini cukup membuatnya senang. Karena padi yang ditanam dan dirawat dengan tenaga mereka kini waktunya dipanen. Sepintas tampaknya akan mendapat hasil yang lumayan. Serangan wereng, walang sangit, dan tikus tak seberapa mengkhawatirkan seperti dulu. Demikian juga guyuran hujan malam yang bisa membuat bunga padi rontok dan serbuan burung pipit yang menghisap bulir-bulir padi muda tak seramai dulu.


Jam delapan pagi, setelah melakukan tugas rutin rumahtangga seperti memasak dan mencuci atau membersihkan rumah, mereka berangkat menuju sawah yang siap dipanen. Sawah itu sendiri milik Bu Minah. Kadang mereka berangkat bersama, kadang berangkat sendiri-sendiri dan yang lain menunggu di dangau.

Dengan membawa sabit kecil dan menggendong keranjang bambu serta memakai caping ( topi lebar dari bambu khas petani ) mereka berjalan dengan senang hati tanpa beban. Sekali pun terik matahari mulai menyengat.

Mbah Sarinem, pemetik paling tua. Usianya sekitar 75 tahun. Badannya kecil dan sedikit bungkuk karena termakan usia. Kulitnya yang legam dan keriput, namun senyumnya selalu terkembang. Ia begitu lincah memainkan tangannya memetik batang-batang padi dengan ani-ani dari cabang bambu ori ( Jawa: carang pring ori ) dan mata pisau dari patahan ujung sabit yang sudah tak terpakai.

“Sak niki ewet sanget pados ani-ani wonten peken. Sampun mboten wonten pande ingkang ndamel malih amergi kathah tiyang remen ndamel arit,” Artinya, ’sekarang sulit sekali mencari ani-ani di pasar. Sudah tak ada lagi pandai besi yang membuat karena banyak petani senang menggunakan sabit.’


Selama ini, memang sudah sangat sulit menemui petani memanen padi dengan menggunakan ani-ani. Boleh dikatakan, Mbah Sarinem satu-satunya petani yang masih menggunakan ani-ani yang dilihat penulis selama lebih dari 25 tahun ini. Sedangkan yang lain, seperti Mbah Piatun dan Mbok Sriasih memotong dengan sabit kecil dengan alasan lebih cepat.

Sekitar jam 11 siang, mereka mendapat kiriman makanan sederhana dari keluarga Bu Minah sang pemilik sawah. Biasanya nasi putih atau jagung dengan sayur dan sekerat daging atau ikan asin. Minumnya pun hanya seceret air putih.

Hingga jam 3 sore, setiap orang biasanya bisa mendapat atau memotong sekitar 10 hingga 12 glangsi ( karung plastik bekas bungkus pupuk atau gula dan padi ). Kemudian padi ditaruh di pinggir sawah dan akan didressel atau dilepas dari batangnya dengan mesin hingga tinggal gabahnya.
Ongkos pemetikan atau pemanenan dibayar berupa gabah. Setiap sepuluh karung gabah akan mendapat satu karung gabah. Jika lebih, maka setiap karung akan dibayar dengan satu takaran rantang gabah.

Satu karung gabah kering, jika telah ditumbuk atau diselep akan menghasilkan antara 5 atau 6 kg beras. Bahkan kurang, tergantung jenis dan kualitas padi. Jika satu kilogram beras seharga sepuluh ribu, maka ongkos yang didapat hanya sekitar 60 ribu rupiah.

Pembayaran ongkos pemetikan di setiap daerah berbeda caranya. Di Blitar, Malang, Lumajang, Madiun, atau Jember biasanya dengan uang. Setiap satu ikat dengan ukuran satu genggam dua tangan biasanya dibayar sekitar 3.000 – 4.000 rupiah. Dalam sehari rata-rata bisa memotong 10 ikat, artinya ongkos yang diterima sekitar 40 ribu rupiah. Sebuah pendapatan yang cukup kecil bagi para petani buruh. Apalagi pendapatan ini bukan rutin, seperti adanya musim kemarau yang panjang atau pemilik lahan berganti tanaman yang tak memerlukan tenaga seperti Mbah Sarinem dan Mbah Piatun. Inilah yang membuat kaum muda meninggalkan sawah dan lebih senang sebagai buruh urban di kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun