Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meruwat Tugu Jogjakarta

28 Juli 2015   07:59 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:50 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jogja, sebagai pusat kebudayaan dan filosofi Jawa yang merupakan sisa-sisa peninggalan Mataram (dan diyakini ada darah Singhasari dan Majapait) memang menjadi daya tarik bagi siapa pun untuk mendatanginya. Datang untuk mempelajari dan mengenalnya, tetapi juga datang untuk sekedar wisata. Mulai dari para pakar budaya dan sosial juga para wisatawan kelas sandal japit dan wisatawan galau yang sekedar berhura-hura dan narsis di Tugu Jogja yang sering ditemui setiap malam.

Jogja yang terus berkembang menjadi sebuah kota metropolitan dengan menjamurnya hotel-hotel kelas melati hingga bintang lima semakin membuat sesak dan gerah. Jogja sebuah kota satu-satunya yang terus bergerak tanpa angkutan kota yang memadai makin terjejali oleh sepeda motor dan mobil pribadi menjadi tersendat dan tak bisa berbuat apa-apa selain harus bersabar.

Jogja yang dicintai oleh warganya yang mulai lupa akan budayanya semakin membuat galau dan keprihatinan para tua. Pertanyaan pun timbul ‘Jogyakart,a ada apa denganmu?’ ( http://www.kompasiana.com/aremangadas/Jogyakarta ada apa denganmu_5511216da33311c539ba9776 )

Dicorengnya Tugu Jogjakarta oleh seorang turis mancanegara pun dianggap sebagai suatu pertanda bahwa Jogjakarta sedang mengalami sesuatu yang tak diinginkan. Atas dasar keprihatinan ini, sebuah komunitas kebudayaan dari lintas agama dan penghayat kepercayaan yang ada di Jogja mengadakan sebuah ruwatan kecil dengan menembangkan dua belas kidung macapat Dandanggula di sisi timur Tugu Jogjakarta pada Kamis, 24 Juli 2015 pukul sepuluh malam, selama sekitar 30 menit.

Pengidungan Dandanggula ditembangkan oleh dua orang, yakni Pak Sis dan Pak Bambang Pamungkas secara bergantian. Pengidungan semakin tampak sakral karena diiringi lantunan seruling oleh Mbah Triman serta pembakaran dupa juga penjagaan oleh dua pemuda yang bergaya pasukan kraton. Beberapa pengunjung (wisatawan) tampak demikian tertarik mengikuti acara yang langka ini. Hanya saja mereka kurang memahami arti dan tujuannya selain hanya menonton sebagai sesuatu luar biasa. Namun tampaknya mereka penasaran dan malu untuk bertanya selain hanya terbengong-bengong.

Ruwatan ini memang diadakan sebagai sebuah doa pengharapan kepada Allah Yang Maha Kuasa, bukan sebagai sebuah tontonan yang menjadi perhatian khalayak, maka diadakan pada malam hari.

Bulan sabit tanggal enam pada penanggalan Jawa redup tertutup awan gelap di sebelah barat tugu masih tampak menyinari suasana malam. Pak Bambang Pamungkas dengan lembut terus melantunkan tembang dandanggula yang di antaranya syairnya seperti ini:

Gunung sewu kang pepager wesi
Katon murub kang tumingal gila
Saklire kang lara kabeh
Iya pan anali sampun
Kang tumingal ing awak mami
Miwah sakehing braja
Tan tumama mringsun
Punika sirah manoleh
Rohmat jati jumeneng wali jasmani
Iya jatining mulya

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun