Jika Anda dalam perjalanan menuju ke Surabaya dari Malang, sekitar 500m mendekati gerbang jalan tol Gempol akan terlihat sebuah gubuk besar dan cukup kumuh. Sekalipun kumuh gubuk ini sangat dibutuh setiap pengendara yang mobilnya sedang mengalami masalah pada bannya, karena gubuk ini merupakan bengkel penambal atau pengganti ban kendaraan bermotor terutama kendaraan-kendaraan besar seperti praoto dan bis.
Pemiliknya, sebut saja namanya dengan Pak Aziz, lelaki paruh baya yang penuh semangat dalam berkarya dengan membuka bengkel tambal ban. Bukan tak ada pilihan lain untuk membuka usaha yang lebih ringan tanpa menguras tenaga. Tetapi ketrampilannya di bidang ini lebih mumpuni untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik.
Dulu, memang Beliau membuka bedak bengkel di tempat yang ramai, namun bukan berarti banyak konsumen yang datang. Paling banyak yang datang adalah sepeda motor yang kempes dan tambal ban. Sehari tidak lebih dari sepuluh motor yang datang. Sebenarnya ada saja mobil yang minta bantuan untuk mengisi udara untuk bannya yang kempes, hanya saja tempatnya di pinggir jalan utama sehingga sering membuat lalulintas tersendat dan mobil enggan berhenti di situ. Sehingga pendapatannya pun tak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Â
Karena hanya sebuah bengkel tambal dan penambah angin, maka konsumennya pun dalam sehari rata-rata hanya lima belas kendaraan besar. Itu pun lebih banyak tambah angin daripada tambal atau ganti ban. Jika satu kendaraan ongkos tambah angin hanya 10 ribu berarti dalam satu hari hanya mendapat 150 ribu rupiah. Sedang untuk ongkos tambal ban kendaraan roda empat antara 20 ribu – 35 ribu tergantung jenis kendaraan. Sehari rata-rata yangtambal ban hanya tiga kendaraan. Jadi, pendapatan ganti ban hanya sekitar 60 ribu – 105 ribu. Maka sehari pendapatan keseluruhan sekitar 255 ribu.
Dalam menjalankan usahanya Pak Azis dibantu oleh lima anak muda lulusan SMP, SMA, dan SMK yang dibayar ‘hanya’ rerata 25 ribu perorang perhari sesuai dengan kendaraan yang digarap. Bahkan sering hanya mendapat 15 ribu rupiah perhari. Tentu pendapatan yang jauh dari UMK sesuai ketentuan pemerintah.
Tak ada pilihan selain harus menerima nasib?
Bagi kelima anak muda ini tentu ingin bekerja di tempat dan gaji yang lebih layak. Tetapi persaingan tenaga kerja demikian keras bahkan untuk bekerja di toko atau swalayan yang gajinya yang kebanyakan masih di bawah UMK pun sulit didapat. Maka tak bisa menolak nasib selain pasrah dan berharap akan ada perubahan.
Bagi Pak Aziz sendiri, sebenarnya bisa saja meningkatkan pelayanan bagi konsumennya dengan menggunakan alat mekanik. Namun dengan konsumen terbatas, haruskah Beliau mengabaikan kelima anak muda ini menjadi pengangguran?
Hidup sebuah perjuangan demi kesejahteraan bersama. Pak Aziz bukanlah pengusaha besar. Tetapi perhatian pada hal yang kecil dan tampak sepele kepada kelima anak muda ini mempunyai dampak yang luar biasa. Menyerap tenaga kerja sektor informal.