Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mbak Naning, Pedagang Kerupuk yang Ulet

1 Juli 2015   15:03 Diperbarui: 1 Juli 2015   20:40 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Seperti halnya kota-kota lain, Kediri juga mempunyai makanan khas yakni tahu pong dan tahu kuning serta nagasari pisang. Makanan yang biasanya dijadikan oleh-oleh ini mudah sekali dibeli di deretan pertokoan sepanjang Jalan Yos. Sudarso dan Pattimura. Selain itu di sepanjang trotoar juga banyak ditemui penjual kerupuk dengan aneka macam dan rasa. Mulai dari kerupuk singkong, kerupuk tahu, dan kerupuk pasir. Yang terakhir disebut kerupuk pasir, sebab ‘konon’ menggorengnya dengan pasir bukan minyak goreng. Kerupuk-kerupuk ini juga banyak dijual di setiap rest area antar kota atau tempat wisata di kota-kota lain dan bukan merupakan makanan khas Kediri, tetapi berasal dari Nganjuk.

Salah satu penjual, sebut saja namanya Mbak Naning. Orangnya hitam manis dan murah senyumnya. Tak sulit diajak bicara ketika saya berbincang dengannya saat sedang tidak melayani penjual. Ia adalah salah satu dari beberapa wanita penjual kerupuk yang ada di trotoar sepanjang Jalan Yos. Sudarso, Kediri.

Mulai jam sepuluh pagi dengan diantar suaminya, ia sudah berdagang di sana hingga toko-toko pedagang oleh-oleh khas Kediri mulai menutup tokonya. Namun yang paling sering ia menutup lapaknya pada jam enam sore saat para pengunjung atau wisatawan sudah sepi. Dalam sehari rata-rata ia dan teman-temannya bisa mendapat keuntungan sekitar lima puluh ribu. Bahkan pada masa liburan di saat banyak wisatawan, bisa memperoleh seratus ribu.

Profesi sebagai pedagang kerupuk di kaki lima ini sudah dijalani hampir dua belas tahun atau tiga tahun setelah ia menikah. Hidup mandiri dan tak mau bekerja sebagai buruh itulah yang menjadi alasan berjualan di kaki lima untuk membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga. Hujan dan panas terik matahari yang menghujam langsung tak mengurangi semangatnya untuk mencari nafkah. Ketika ditanya, apakah kulitnya yang hitam ini akibat tersengat matahari sekian lama, ia menjawab enteng “Ya tentu saja to Mas. Tapi yang penting tetap disayang suami dan bisa meringankan beban suami.”

Sebuah ungkapan jujur dari seorang wanita tradisional yang hanya mengenyam pendidikan setingkat SMP.
Sebagai pedagang kaki lima, ia mengetahui resiko yang harus ditanggungnya. Bukan preman yang mengganggu, pembeli yang tidak jujur, atau razia kebersihan dan ketertiban dari petugas Satpol Pamong Praja. Sebab sebagai pedagang kaki lima ia senatiasa ikut bertanggungjawab menjaga kebersihan. Petugas Satpol PP memang pernah meminta untuk tidak berjualan karena pada saat itu sedang diadakan pemeriksaan oleh tim Adipura. Resiko yang harus ditanggung adalah terpaksa menitipkan pengasuhan anaknya pada neneknya. Terlalu riskan mengajak anak berjualan di pinggir jalan tanpa teman.

Hidup bahagia dan sejahtera memang harus dicari dan bukan dinanti. Berjualan di kaki lima itulah jalan yang kini ditempuh oleh Mbak Naning dan para wanita yang berjualan kerupuk pasir di Jalan Yos. Sudarso Kediri.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun