Pagelaran wayang kulit saat ini memang sudah sepi penonton. Namun bukan berarti kisah tentang wayang ditinggalkan begitu saja oleh penggemarnya. Sedikit banyak masih ada kaum muda dan anak-anak yang mau mengenalkan tokoh-tokoh legendaris dalam kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana. Setidaknya ini yang saya lihat ketika ada pagelaran wayang kulit, ada satu dua bapak-bapak muda yang mengajak anaknya untuk menonton sambil mengenalkan nama tokoh-tokoh yang tak asing bagi para penggemar wayang kulit, seperti Semar, Gareng, Petruk, Arjuno, Werkudoro, Gatotkaca, dan Anoman.
Dalam pelajaran Bahasa Daerah (Jawa), kisah-kisah yang penuh ajaran moral dan etika banyak disisipkan. Misalnya kisah Sumantri, Bale Sigolo-golo, pertarungan Jatayu dan Dasamuka. Sehingga cerita wayang masih cukup menarik menjadi salah satu model untuk membentuk karekter anak sesuai dengan kepribadian budaya nasional lewat kearifan lokal.
Hal ini ternyata terbaca oleh seorang perajin wayang kulit dari Desa Purwodadi (Wonogiri), Solo. Panggilannya Pak Sabar. Sebagai seorang penggemar dan perajin, beliau merasa terpanggil untuk mengenalkan tokoh-tokoh sakti dan bijaksana serta rendah hati kepada kaum muda. Maka ia pun membuat wayang kulit yang terbuat dari karton lalu dijual seharga lima belas ribu rupiah. Ada yang seharga dua puluh lima ribu untuk wayang dengan tokoh seperti Rahwana, Dursasono, Kumbokarno, dan gunungan. Karena memang bentuknya besar, tentu membutuhkan karton dan cat yang lebih banyak.
Sebenarnya Pak Sabar bukan hanya membuat dari karton tetapi juga membuat dari kulit, tetapi sasaran konsumennya adalah anak-anak. Maka harga yang terjangkau amat dipertimbangkan. Sehingga anak-anak tertarik untuk membelinya.
“Saged kemawon kula ndamel kaliyan sadeyan ingkang saking lulang. Hananging reginipun awis, paling mboten setunggal atus seket. Kumbokarno utawi gunungan malah ngantos gangsal atus ewu. Menapa inggih pajeng? Menawi murah, tiyang sepuhipun mesthi kersa numbasaken yoganipun dados larenipun nggih saged tepang wayang.”
Artinya: ‘Bisa saja saya membuat dan menjual yang terbuat dari kulit. Tapi harganya mahal, paling tidak seratus lima puluh ribu. Kumbokarno atau gunungan malah bisa seharga lima ratus ribu. Apa nanti laku (terjual)? Jika harganya murah, orangtuanya pasti mau membelikan anaknya sehingga anaknya juga bisa mengenal wayang’
Dua puluh lima tahun Pak Sabar pergi pulang dari Solo ke Malang menekuni profesi ini. Secara ekonomis memang tak terlalu menguntungkan. Dalam sehari paling banter hanya bisa menjual lima buah. Kecuali pada saat ada pameran pembangunan dan budaya atau pertunjukan wayang kulit, beliau bisa menjual dua puluh hingga tiga puluh buah. Kalau beruntung malah ada yang memesan dibuatkan dari kulit. Seperti yang pernah ia rasakan saat Walikota Malang periode 90-an memesan gunungan seharga seratus dua puluh lima ribu. Cukup mahal untuk ukuran saat itu.
Perubahan jaman, disadari atau tidak pasti akan menggeser kebudayaan nenek moyang. Hanya ketekunan dan kesabaran untuk mengenalkan dengan cara sesederhana pun tentu akan membawa daya tarik bagi anak-anak untuk mempertahankan budaya lokal yang penuh ajaran moral dan etika.
Kisah Pak Sabar dan seorang bapak muda yang membelikan anaknya sesosok tokoh sakti seperti Gatotkaca adalah salah satu inspirasi sederhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H