[caption id="attachment_357835" align="aligncenter" width="487" caption="Guru dari Belanda dalam kunjungan ke SDK Cor Jesu, Malang"][/caption]
Selama empat tahun terakhir ini, saya sudah 8 kali dipercaya menemani tamu guru dari manca negara. Dua kali dari Belanda dan Jerman, satu kali dari Perancis, dan tiga kali dari Australia ( dari progam kangGURU). Pemilihan saya untuk menemani saat mengunjungi beberapa sekolah dan rumah guru-guru di kota dan pelosok bukanlah karena pandai Bahasa Inggris atau guru senior yang profesional, tetapi hanya luwes bergaul dan pandai ngomong dan suka klayapan saja. Tak lebih.
Sekalipun kunjungan ini resmi serta untuk menjalin persahabatan, namun acaranya tak pernah bersifat protokoler. Santai, namun bukan berarti mereka tak pernah mengamati sebagai suatu studi banding. Sesuatu yang dilihat dan dirasa tampak ‘aneh’ tak pernah ditanyakan kepada mereka yang dikunjungi tetapi lewat sebuah perbincangan kala makan bersama atau duduk-duduk kala istirahat dengan kami yang menemani setelah kunjungan.
[caption id="attachment_357939" align="aligncenter" width="450" caption="Sambil makan kami berbincang tentang pendidikan."]
Inilah beberapa catatan hasil perbincangan kami setelah mengunjungi beberapa sekolah, mulai dari SD - SMA :
Kurikulum ( saat itu KTSP ) pendidikan negeri kita begitu sempurna, termasuk buku panduan untuk guru dalam mengajar sehingga kurang membuat inovasi dalam mengajar dan mendidik. Guru dan murid menjadi robot untuk mencapai materi dan nilai.
Guru mengajar bukan untuk memecahkan masalah bersama siswa tetapi malah membuat masalah. Murid bingung. Orangtua ndomblong.
Pemerintah hanya memperhatikan sekolah-sekolah negeri dan sekolah swasta sering terabaikan, termasuk nasib para gurunya.
Pembinaan terhadap para guru hanya bersifat administratif daripada penambahan atau pembekalan pengetahuan.
Perpustakaan sekolah amat kurang perhatian.
Motivasi guru kurang terpacu oleh situasi dan latar belakang siswa.
Murid yang pandai diberi tugas dan yang kurang pandai cenderung dibiarkan.
Kesejahteraan guru sudah mencukupi bila dibanding dengan pekerja lainnya. Tetapi karena ukuran kesejahteraan masyarakat kita lebih berorientasi pada materi atau kekayaan sehingga selalu membanding-bandingkan.
Dukunganorangtua pada para putranya hanya sebatas mengantar dan menjemput ke sekolah. Menemani belajar kurang perhatian.
Suasana belajar seperti suasana teater, siswanya diam dan anteng. Jarang diskusi.
Ketika mengunjungi beberapa rumah guru dan kepala sekolah, pendapat mereka cukup mengejutkan:
Rumah bagus dengan hiasan dan perabot lengkap termasuk dengan segala pernak-pernik hiasan. Sepeda motor tiga dan sebuah mobil dan bahkan ada yang dua mobil. Tetapi semua menjadi aneh, karena tak ada lemari yang berisi buku pengetahuan selain majalah dan koran usang yang tergeletak di meja ruang tamu atau meja makan. Dan, kebanyakan mereka tak suka membaca apalagi menulis.
Itu adalah pendapat mereka yang mungkin bisa dijadikan cermin pendidikan di negeri ini.
[caption id="attachment_357836" align="aligncenter" width="550" caption="Guru Bahasa Indonesia dari salah satu SMA di Melbourne saat berkunjung ke Kolese St. Yusup lalu ke kebun kami."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H