[caption id="attachment_218058" align="aligncenter" width="300" caption="Sandal yang menunggu proses penyelesaian akhir."][/caption] Hidup adalah pilihan. Jatuh bangun adalah perjuangan. Nasib bagaikan roda yang selalu berputar. Kadang di atas penuh kebahagiaan. Kadang di bawah penuh penderitaan. Semua orang pasti mengetahui hal ini, namun kadang tak memahaminya dan sulit menjalaninya. Namun tidak demikian bagi sebagian orang yang mengenal filosofi Jawa ‘roda manggilingan’ Hidup bagaikan putaran roda.
Salah satunya adalah, sebut saja Mas Sigit warga Perumnas Sawojajar Malang. Sepuluh tahun yang lalu, ia adalah pedagang sayur yang secara khusus mensuplai kebutuhan sayur-mayur beberapa hotel di Bali. Namun sejak kasus Bom Bali 2, permintaan menjadi surut seiring turunnya jumlah kunjungan wisatawan manca negara dan menginap di hotel. Usahanya pun jatuh dan sulit lagi untuk dilanjutkan. Ia tetap tegar dan selalu berusaha demi tetap mengepulnya asap dapur dan kesejahteraan keluarganya.
[caption id="attachment_218071" align="aligncenter" width="290" caption="Salah satu gambar atau ukiran spon karya Mas Sigit."]
Berbekal ketrampilannya menggambar, secara iseng ia menggambar di atas spon dengan alat pematri atau solder listrik ternyata menghasilkan sebuah gambar yang unik dan menarik. Spon tersebut akhirnya dipotong dan dibuat model sandal untuk putrinya yang baru berumur 5 tahun. Ternyata hasilnya amat bagus dan menarik beberapa tetangganya yang kemudian memesan untuk mereka sendiri dan sebagai cindera mata pesta perkawinan.
Berawal dari sini, Mas Sigit yang sedang terpuruk akhirnya mengembangkan bakat dan usahanya bukan sekedar iseng tetapi benar-benar untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Kini dalam sehari, Mas Sigit bisa memproduksi sekitar 1 lusin sandal ukir dengan aneka macam corak dan motif. Seperti motif bunga, kepala Suku Indian, hewan, lambang Arema, maupun corak sesuai dengan pesanan. Harganya pun cukup murah, antara Rp 17.500 – Rp 25.000 sesuai ukuran dan kerumitan motif ukiran. Sementara ini, produksinya hanya dijual atau melayani konsumen di kota Malang, Surabaya, dan Bali. Melihat keunikan hasil kerajinan ini, menurut penulis masih merupakan satu-satunya sandal spon ukir yang dihasilkan di negeri ini.
Proses pembuatan sandal spon ukir.
[caption id="attachment_218059" align="aligncenter" width="300" caption="Spon hitam, coklat, dan sol dipotong sesuai dengan ukuran sandal lalu dilekatkan jadi satu.   "]
[caption id="attachment_218062" align="aligncenter" width="300" caption="Permukaan digambar dengan pensil sesuai permintaan."]
Rincian modal pembuatan dan pengiriman sandal spon ukir per 3 lusin :
1.Spon hitam 10 mm untuk alasRp80.000,-
2.Spon coklat 2 mm untuk gambarRp46.000,-
3.Sol sandalRp60.000,-
4.Tali sandal Rp40.000,-
5.LemRp75.000,-
6.Beban listrik Rp 100.000,-+
Jumlah pengeluaran belum termasuk tenagaRp 401.000,-
Rincian hasil penjualan per 3 lusin
Rata-rata sandal seharga Rp 20.000,- per buah
Harga sandal per 3 lusin : 3X 12 X 20.000 = Rp 720.000,-
Keuntungan per 3 lusin : 720.000 –401.000= 319.000 rupiah.
Jika sehari bisa menghasilkan selusin sandal maka keuntungan yang diperoleh adalah : 319.000:3= 106.000 rupiah. Suatu jumlah yang ‘cukup lumayan’ jika produksi dan penjualan berjalan lancar.
Perhitungan modal dan penjualan dengan ukuran per 3 lusin, karena bahan hanya dapat digunakan untuk membuat sandal sebanyak antara 30 – 36 buah atau 3 lusin sesuai dengan ukuran.
Cinta Indonesia. Cinta produksi dalam negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H