[caption id="attachment_190698" align="alignnone" width="523" caption="Bersama anak-anak mengenalkan hutan. Dok.Pri"][/caption] Hari ini, 31 Juli tiga puluh dua tahun yang lalu adalah langkah awal aku menjadi seorang guru di sebuah SD swasta yang cukup ternama di Malang. Memang, aku diterima terhitung 1 Juli 1980, namun karena masih awal tahun ajaran maka pelajaran per bidang studi baru diawali minggu ke 3. Dengan semangat menggelora kujalani profesi ini dengan mantap dan penuh keyakinan walaupun yang kuajarkan tidak sesuai dengan pendidikan yang selama ini kutempuh. Belajarfilsafatteologi tapi mengajar olahraga. Menyimpang jauh sekali.Ternyata belum genap satu tahun, aku sudah mulai bosan! Bukan enggan menghadapi anak didik tapi ternyata menjadi guru olahraga itu tak semudah seperti dibayangkan semua orang.
1981 aku diterima menjadi guru SD Inpres di pinggiran kota Malang. Harapan menjadi seorang guru bagi kaum pinggiran yang pernah kuharapkan tercapai disini. Entahlah...mengapa ini terjadi juga: aku menjadi seorang guru olahraga! Padahal saat melamar aku memilih menjadi guru kelas. Setelah dua tahun menjadi calon PNS , April 1983 diangkat menjadi PNS dengan pangkat dan golongan IIB dengan gaji saat itu kurang lebih 23.900 rupiah. Lumayan ....... Sebagai seorang guru yang ingin mengabdi sepenuhnya ternyata gagal total. Menjadi seorang PNSyang anggota Korpri ternyata aku bukan hanya harus mengabdi pada masyarakat saja tetapi juga pada negara. Kegiatan mengajar sering hilang dengan segala macam kegiatan indoktrinasi dari birokrat. Pertemuan ini itu dan segala tetek bengek yang berbau kampanye dengan mengkultuskan individu tokoh utama saat itu membuat aku muak! Kutinggalkan PNS dengan perasaan kecewa karena tak cocok dengan sistem kehidupan politik yang menjijikkan!
Pertengahan 1983, diterima menjadi seorang guru sukwan di sebuah SMP Negeri Malang dan dimintai menjadi pioner bersama 3 orang teman membuka filial di pinggiran Kabupaten Malang dengan honorarium sebesar 3.600 rupiah per bulan. Jauh beda sekali saat menjadi guru swasta dan negeri yang pernah kujalani. Tapi semangat seorang pemuda yang ingin mengabdi tak pernah luntur.... Dua tahun kujalani tanpa keluhan berarti. Tahun ke tiga semua berakhir.... saat SMP itu mulai dikenal dan akan diresmikan menjadi sekolah yang berdiri sendiri, para pejabat pun berdatangan. Sesuatu yang lumrah. Pemimpin harus mengenal dan dikenal warganya. Pertemuan yang seharusnya berjalan alamiah justru menjadi ajang unjuk gigi kekuatan politik dan memperoleh simpati dari masyarakat. Okelah tak apa-apa.... Tapi dengan merendahkan kelompok lain yang dapat membuat benturan di antara masyarakat yang berbeda haluan tentu tak beretika. Kutinggalkan sekolah ini.....
[caption id="attachment_190699" align="alignnone" width="540" caption="Mendampingi anak-anak mencapai prestasi. Dok.Pri"]
Delapan tahun menjadi guru disana ternyata bisa menorehkan prestasi bagi anak didik yang tentu saja membawa nama harum sekolah sesuatu yang menyenangkan. Apalagi bisa membawa kebanggaan bagi anak didik dan orangtua mereka. Ketika semua berjalan menanjak, intrik di antara sesama teman mulai bermunculan. Sodok sana sodok sini untuk memperebutkan kursi panas sebagai pimpinan yang saat itu akan terjadi penggantian. Tak mau menjadi tudingan sebagai orang yang ambisius. Kuputuskan mengundurkan diri sebagai guru tetap dan menjadi tenaga pengajar paruh waktu. Kutekuni profesi baru sebagai pengamat dan peneliti budaya, dan petani serta pemandu wisata yang selama ini kuanggap sebagai hobi semata. Kota yang penuh intrik kujauhi dan kembali ke desa yang penuh ketentraman.
Panggilan menjadi seorang guru tak pernah susut. Sekalipun secara finansial menjadi seorang guru jauh dari harapan daripada seorang petani dan pemandu wisata.
1997 diterima menjadi seorang guru di sebuah SD swasta yang terkenal disiplin dan tangguh dalam bidang akademis, sosial budaya, dan pendidikan agamanya. Sekali lagi aku menjadi guru olahraga. Pengalaman masa lalu yang penuh intrik kupendam dalam-dalam. Diam adalah emas. Berkarya adalah berlian. Sama indahnya. Sama berkilaunya. Menarik hati semua orang yang memandangnya. Tapi hijaunya daun pepohonan di hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru senantiasa memberi kesejukan dan ketenteraman. Membawa kententraman dan kesejukan hati agar tak terjadi atau bila terjadi intrik sungguh mulia.
Lima belas tahun kujalani menjadi guru olahraga disini. Semua berjalan penuh liku. Sama seperti dulu. Intrik memperebutkan kursi panas setidaknya penghormatan atas senioritas di antara para guru senantiasa ada. Itulah dinamika kehidupan. Sayang semua ini baru kusadari saat semua telah berjalan 20 tahun menjadi seorang guru.
[caption id="attachment_190700" align="alignnone" width="603" caption="Bola Basket, Bulutangkis, dan Atletik andalan sekolah kami bidang olahraga. Dok.Pri"]
Kini, 32 tahun aku menjadi guru. Tak banyak yang patut dibanggakan. Biarlah para anak didik yang pernah duduk bersama menuju masa depan dan menggapaiprestasi yang menilai. Guru bukanlah pribadi yang merubah seseorang menjadi pribadi yang lain. Guru hanyalah penuntun menuju masa depan yang ingin dicapai anak didik. Bila bisa mencapai prestasi bagi putra-putrinya, guru adalah seorang fasilitator.
[caption id="attachment_190702" align="alignnone" width="594" caption="Hendrawan, salah satu anak kami yang berhasil. Foto: getty.net"]
Guru disayang guru terbuang.
Sejak dulu pandangan masyarakat terhadap profesi guru senantiasa mendua. Di satu sisi mereka diharapkan, di lain pihak guru sering dilecehkan. Semenjak perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru semakin meningkat, pandangan masyarakat menjadi seorang guru mulai bergeser. Keinginan menjadi seorang guru pun mulai meningkat. Tapi apakah mereka terpanggil untuk menjadi seorang pendidik atau sekedar mencari pekerjaan yang mudah dicapai?
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru memang amat diharapkan, Namun mengapa harus dengan programsertifikasi? Tak layakkah dengan mereka menerima intensif atas segala upaya mereka selama ini. Meningkatkan mutu kompetensi guru melalui program-program yang telah dibuat dan Uji Kompetensi Guru memang dibutuhkan demi kemajuan pendidikan negeri ini. Namun dengan memberi tambahan gaji pokok kepada para guru yang lolos sertifikasi saja bagaikan memberi rumput kepada kuda tunggangan yang sedang dipacu bersama keretanya. Apakah ini bukan merendahkan?
Seharusnyapemerintah juga lebih memperhatikan para guru yang masih mengabdi tanpa ‘gaji’ di pelosok negeri ini dan para guru swasta di sekolah-sekolah pinggiran yang tak tersentuh.
Selamat Berjuang Guru
Untuk para kompasianer yang berprofesi sebagai guru : Selamat Berjuang. Semoga lolos UKG. Dan semoga semua lolos sertifikasi... Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H