Kisah ini bukanlah perdebatan antara Gatholotjo dengan Dewi Mlenuk Gembuk, Dewi Dudul Mendut, dan Dewi Bleweh seperti yang tertulis pada Serat atau Suluk Gatholotjo. Tetapi kisah sebenarnya yang hampir selalu terjadi di setiap pagelaran wayang kulit. Sekalipun hanya sebuah guyonan atau humor namun penuh arti, hanya saja tak pernah ada yang merasa sakit hati. Semua berlalu secara turun temurun hingga kini walau hanya mereka yang mengalami akan merasakan. Bahwa persaingan di antara pelaku pementasan wayang kulit selalu ada. Siapa yang paling utama dalam peperangan di pementasan wayang kulit? Ki dalang, panjak, pemain biola, atau sinden?
Ada geguyonan begini, ketika semua wiyaga istirahat sambil menikmati suguhan, penabuh kendang hanya melongo sambil menabuh kendang yang mengeluarkan bunyi: ndang… ndang… ndang… entekno… ndang…ndang…entekno..entekno…. Kalau diterjemahkan artinya: cepat…cepat..cepat… habiskan…cepat…cepat habiskan…habiskan….
Pemain atau penggesek rebab selalu memperhatikan pesinden.
Sedangkan pemain rebab atau biola Jawa yang sulit istirahat menggesek rebabnya sambil memperhatikan sinden yang nembang dengan lembut. Tentu saja kadang melihat penuh arti tentang penampilan Si Sinden. Rebabnya pun digesek lembut yang berbunyi: Yuuuu….iiiinga anaaaa…..iiingaaaa aanaaaaa…. Yuuuu…iiiiingaaaa anaa…. Artinya: Mbaak… sisakanlaah…..sisakanlaaaah…. Maksudnya jangan habiskan suguhannya.
Sinden yang tahu diperhatikan si penggesek biola pun menjawab gengan menyanyikan: Yaaa….mas….yaaaa….massss…… ala bapak …. paknethole…..paknethole….. kutute manggung…
Sang dalang yang hanya bisa minum atau merokok saat goro-goro tak ketinggalan menggerutu lewat suara Ki Semar atau Betara Narada: Weladaaaalaah….. ana apa ta iki? Suralaya padha hooreeeeg….krungu swarane sinden sing ndeleng Kutut Manggung eh sesekaran Kutut Manggung….. Kutute sapa ta tenga wengi kok ya manggung…. Artinya: Weladalah ada apa gerangan. Suralaya ( tempat para dewa ) kok bergetar mendengar sinden sedang bernyanyi Kutut Manggung. Kutut manggung merupakan salah satu tembang klasik Jawa, tapi sering dikonotasikan ‘burung perkutut mengangguk-angguk dan bernyanyi mencari perhatian’.
Tak mau ketinggalan peniup suling dengan santai meniup suling slendronya yang berbunyi: hurung ketekuk….huruuung ketekuukk….hurung ketekuuuuk… huuuu…ketekuk tekuuukkkk….. Ini juga suara burung perkutut tapi sering diartikan: belum ditekuk…belum ditekuk …aduh tertekuk-tekuk….
Karena peperangan atau perang kembang biasanya saat menjelang dini hari, suara tekukur sang empunya rumah langsung menyaut berbunyi: Kok jeruuuuu….kok jeruuuu kok….kok jeruuuuu…yo! Suara ini diplesetkan yang artinya: kok dalam…kok dalam…
Segala kejadian sering menampakkan sebuah persaingan lucu dan konyol tetapi asal dipahami dengan benar akan selaras kok. Silakan nonton wayang kulit.
Para pengrawit atau wiyaga yang bisa istirahat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H