[caption id="attachment_300409" align="aligncenter" width="400" caption="Mendung menjelang malam di Desa Ngadas."][/caption]
Mendung tebal yang menggelayut sejak pagi menjadi hujan rintik dengan kabut pekat yang turun di sela-sela perbukitan membuat jalan di belantara lereng Gunung Semeru sepanjang 17 km dari Ngadas menuju Tumpang menjadi lebih gelap. Jarak pandang hanya sekitar 5m saja. Sekalipun jalanan turun sekitar 35° - 45° sepeda motor hanya bisa kupacu sekitar 20km perjam.
Dua km setelah Desa Ngadas merupakan belantara Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kesunyian dalam dinginnya malam membuat badan semakin menggigil. Karena jarak pandang semakin pendek kunyalakan lampu dim (jarak jauh) dan sekali-kali membunyikan untuk menghindari serudukan hewan liar.
Dari jauh kulihat tiga titik bola api kecil berjalan beringin dari depan ke belakang. Seperti biasa, para pedagang atau petani kecil yang akan ke Pasar Tumpang dengan berjalan sambil membawa obor. Mereka tentu saja enggan menunggu kendaraan yang tak mungkin datang pada malam seperti ini. Maka lebih baik berjalan kaki untuk menghangatkan tubuh dan menyingkat waktu.
Saat melewati yang paling belakang, kusapa dia. Entah dia membalas atau sekedar tersenyum atau tidak, yang jelas wajahnya tertutup sarung untuk menghindari dinginnya angin. Hanya matanya saja yang tampak di balik lipatan sarung dan topi.
Kemudian kusapa yang tengah sambil menoleh padanya. Kepalanya tertutup sarung dan sebuah caping. Namun wajahnya betul-betul tak tampak, selain hitam pekat. Mungkin tertutup bayangan caping akibat sinar obor.
Lima meter kusapa yang paling depan. Kali ini yang kulihat hanya kaki hingga bahu tanpa kepala namun ada capingnya serta tangan kiri membawa obor. Tentu saja aku cukup kaget. Karena jalan sedang menurun tajam tak mungkin untuk berhenti walau sejenak.
Kupacu sepeda motor sekitar 30 km perjam. Di sebuah jalan datar yang hanya sepanjang 25 m, di pertigaan Desa Jarak Ijo dan Ngadas di pinggir jurang yang curam aku berhenti menunggu mereka. Mesin dan lampu kumatikan dan sepeda motor kuarahkan ke arah sebelumnya. Beberapa menit kemudian tiga obor berjalan itu mulai tampak. Degup jantung mulai terpacu ketika mereka semakin dekat. Saat jarak sekitar 20 m, lampu kunyalakan ke arah mereka.Astagaa……. kini mereka betul-betul tiga sosok tanpa kepala dan dengan tenangnya terus mendekat padaku! Dengan tenang pula aku memandangnya hingga mereka menghilang tepat di depanku!!!
Selanjutnya kupacu sepeda motor sekitar 50 km perjam. Tiba-tiba saja peeetttts! Lampu mati. Sontak aku kaget dan langsung menepi ke kanan karena di depan merupakan tikungan tajam dan jurang menganga sedalam 500m. Jatuh tak akan ditemukan!!! Wal hasil aku terperosok ke jalan yang berbelok sedalam 10 m. Beruntung sepeda motor tersangkut di semat paitan. Kali ini slebor depan pecah dan tuas rem depan bengkok serta mesin mati total. Bahuku terasa sakit sekali.
[caption id="attachment_300410" align="aligncenter" width="400" caption="Lampu dan mesin karena kabel terbakar karena panas akibat terlalu lama menyalakan lampu dim."]
Jalan ke arah desa terdekat masih sekitar 8 km saja dengan turunan yang tajam sehingga sepeda motor masih bisa dijalankan tanpa mesin. Hanya saja menjelang Desa Gubuk Klakah ada tanjakan 30° walau hanya sepanjang 100 meteran saja. Bayangan penderitaan pun mulai ada di benak. Tak mungkin mendorong sepeda motor besar di tanjakan dengan bahu cidera. Sepeda motor pun kugelontor dengan gigi netral tanpa pengereman dengan harapan bisa menanjak tanpa mesin. Ternyata bisa. Namun saat di ujung jalan tanjakan rasa sakit di bahu tak bisa ditahan. Aku kembali terjatuh terpental. Kali ini di dekat air terjun Coban Pelangi tepat di depan makam Mbah Gunung Sari pendiri desa Gubuk Klakah.
Ingin menghubungi Si Marni di rumah, namun hape dan hate entah terlempar ke mana. Bulan kulihat mengejek dengan sinarnya yang redup di balik mendung bulan Januari.
Dua jam menunggu di pinggir hutan dengan rasa sakit bukanlah sesuatu yang menyenangkan walau tak ada rasa takut. Sekitar jam sepuluh malam, serombongan pendaki menuju Gunung Semeru lewat dengan sepeda motornya. Dengan bersila di pinggir jalan tangan kudaplangkan minta tolong. Rupanya mereka takut melihat sosok dan wajahku yang amat sangat kuyu dan dikira memedi. Mereka pun ngibrit. Aku hanya berharap mereka tak ketemu tiga sosok tanpa kepala itu……
Sekitar jam setengah sebelas, kulihat hapeku menyala di tengah rerumputan berarti ada yang nelpon. Dengan merangkak kuambil hape dan ternyata Si Marni yang menanti kedatanganku di rumah.
Jam sebelas malam, sebuah jeep dengan 3 penumpang datang. Cak Kartono dan Cak Budi lalu membawa sepeda motorku ke rumahnya. Sedang Si Marni dengan jeep-nya membawaku pulang.
Di sebuah apotek dekat Pasar Tumpang kami berhenti membeli minyak tawon. Kemudian Si Marni langsung menggosok bahuku. Beberapa pendaki yang menunggu kendaraan akan menuju Gunung Semeru tampak tersenyum. Kulihat juga tiga orang pedagang kentang yang duduk di depan hotel juga tersenyum. Aku kaget….. Kutoleh dan kujawil Si Marni lalu menunjuk ke arah tiga pedagang itu. Aku tambah kaget ternyata sudah tidak ada.
[caption id="attachment_300411" align="aligncenter" width="400" caption="Tuas rem depan yang bengkok setelah nyosop!"]
Aku pun turun dari mobil dan mencari mereka di sela-sela pendaki yang akan berangkat. Si Marni hanya terbengong-bengong. Ketika aku akan naik ke atas jeep, kulihat tiga sosok tersebut sudah naik di sebuah truk yang akan mengantar para pendaki menuju Ranu Pani. Salah satu di antara mereka tampak tersenyum lalu melambaikan tangan padaku……
Aku yang menahan rasa dibahu setelah dipijet Si Marni cuma bisa mengguman ‘awas akan kukujar kamu sampai di Puncak Mahameru sekalipun…..’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H