Seorang penonton sebuah pertunjukan tari tampak gelisah dan secara perlahan dia menyelutuk ‘menari kok hanya mulat-mulet thok’ Mendengar celuthukannya aku cuma tersenyum. Saat jedah ia kutanya apakah pernah menonton pertunjukan seni tari, ia menggelengkan kepala dan berkata lirih hanya pernah melihat sepintas saat perayaan tujuh belas Agustus di tempat tinggalnya.
Tari sebagai sebuah seni gerak memang banyak membuat decak kagum bagi para penggemarnya, jika setiap gerakannya bisa menunjukkan sebuah keindahan penuh makna. Apalagi jika dalam tari tersebut menceritakan sebuah kisah percintaan atau kepahlawanan dalam lingkup keratin yang ditampilkan dengan segala gerak dan media yang mempunyai nilai sakral. Dalam hal ini maka seni tari klasik tentu mudah membawa para penonton sulit meninggalkan tempat sebelum semua gerakan dan iringan musiknya berhenti.
Pertanyaan pun timbul apakah sebuah tari hanya diciptakan demi keindahan dari sudut pandang penonton yang merupakan kaum awam dalam bidang tari? Apakah para seniman tari tak boleh membuat sebuah kreasi baru di luar pakem gerak, musik, dan media latar untuk menunjukkan keindahan dari sudut pandang koreografer demi kepuasan batinnya?
Seni sebagai sebuah ungkapan perasaan dan keindahan dalam bentuk gerak memang tak bisa dibatasi oleh pakem-pakem atau sebuah kebudayaan akan memunculkan sebuah tari modern atau kontemporer. Tari modern macam ini lebih dipengaruhi oleh gerak tari balet.Namun demikian, para koreografer di sini masih ingin menunjukkan ketradisionalan yang melatari kehidupan mereka dengan menampilkan sebagian gerak tari klasik dan sedikit balutan pakaian tradisional. Upaya ini sedikit banyak bisa mempengaruhi kaum penonton awam untuk tetap duduk manis, sebab tari modern lebih menarik bagi para seniman tari dan pengamat serta kritikus seni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H