[caption id="attachment_305139" align="aligncenter" width="572" caption="Tak mau mengerti sekalipun kami telah menjelaskan tak ada waktu."][/caption]
Usaha mencari uang dengan cara yang salah, misalnya menipu, memang bukan milik suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Setiap orang yang ingin mendapatkan uang secara mudah dengan melanggar norma-norma masyarakat tentu sangat merugikan mereka yang ditipu dan tertipu. Seberapa besar atau kecil pun uang dan materi yang dikeluarkan akibat penipuan, maka penipu tetap harus ditindak tanpa memandang siapa yang melakukan.
Banyak akal bulus yang dilakukan oleh para penipu untuk meraup uang tanpa mau bekerja secara jujur. Mulai lewat sms yang memberitahu bahwa salah satu anggota keluarganya mengalami kecelakaan lalu minta uang untuk membawa ke rumah sakit, minta dibelikan pulsa, mengaku dari aparat hukum yang akan membantu menyelesaikan masalah, hingga akan memberikan hibah atau bantuan namun minta bea pajak, dan minta uang muka atas pembelian rumah atau tanah yang tak pernah dilakukan oleh calon korban.
Sasaran penipuan bukan hanya orang-orang pedesaan, kaum ibu di komplek perumahan, anak-anak sekolah yang sedang menunggu jemputan orangtuanya, tetapi juga sekolah-sekolah.
Beberapa saat yang lalu, sekolah kami didatangi seorang warga negara India yang ingin berbagi ketrampilan untuk membuat bunga dari kertas crap. Dengan alasan tak ada jadwal dan waktu kosong kami menolak dengan halus. Namun orang ini, tampaknya amat bebal sekali dan enggan ditolak dengan alasan sebagai utusan kebudayaan India. Keesokan harinya, datang kembali seorang warga negara India yang lainnya dengan maksud yang sama. Kami juga menolak, namun mereka juga tak mau ditolak. Akhirnya mereka mengeluarkan sebuah surat yang dilaminasi dari Kedutaan Besar India dan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar yang kami tengarai palsu. Surat tersebut akhirnya kami scan seperti yang terlihat di foto ini.
Jika surat ini memang tidak palsu, sebaiknya pihak yang mengeluarkan surat mempertimbangkan baik-baik keputusan ini. Sebab mereka bukan sekedar minta waktu untuk berbagi ketrampilan namun juga memaksa kami untuk membeli buku dan kertas crap dengan harga yang tak masuk akal. Karena tak mau diganggu dan ingin agar warga India ini segera pergi, maka kami terpaksa membeli buku dan kertas crap yang kami perkirakan harganya tak lebih dari 25 ribu dan harus dibayar sekitar 200 ribuan.
Di sekolah lain ternyata yang dilakukan oleh oknum ini justru bisa meraup keuntungan jutaan rupiah. Sungguh uang yang tak sedikit dan amat sulit untuk diperoleh harus sia-sia diberikan orang asing yang tak mempunyai nilai kompetensi ketrampilannya.
Sebenarnya gaya mencari uang seperti ini sudah pernah terjadi pada awal tahun 1990an dengan oknum yang berbeda namun dari kelompok yang sama. Saat itu saya mengajar di Surabaya dan Malang. Kami sebenarnya merasa kalau mereka adalah penipu, sebab selama berkomunikasi senantiasa menggunakan Bahasa Inggris dan mengaku tak mengerti Bahasa Indonesia sama sekali. Anehnya, ketika saya menjawab dengan idiom yang salah justru mereka mengerti. Demikian juga saat saya menterjemahkan penjelasan mereka ke Bahasa Indonesia di hadapan para siswa mereka tahu apa yang saya katakan salah.
Pada tahun 1990 sulit kami menolak, kini 2014 mereka sulit ditolak. Semoga pihak yang bertanggungjawab mengeluarkan surat tersebut memahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H