Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Mereka, Anak-anak Kita!

2 Juni 2014   22:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_309427" align="aligncenter" width="450" caption="Blitar..."][/caption]

[caption id="attachment_309429" align="aligncenter" width="450" caption="Malang...."]

14016982511058941365
14016982511058941365
[/caption]

[caption id="attachment_309430" align="aligncenter" width="450" caption="Rajhastan, India...."]

1401698298945864271
1401698298945864271
[/caption]

[caption id="attachment_309431" align="aligncenter" width="450" caption="New Delhi..."]

1401698451499592027
1401698451499592027
[/caption]

1992, seorang gadis kecil berusia 10 tahun duduk sendiri di dalam pesawat menuju Sidney. Orangtuanya hanya mengantar dengan mendorong kursi roda hingga bandara, lalu pergi meninggalkan kami berdua. Tiga puluh menit kami berdua menunggu sebelum panggilan masuk pesawat. Kulihat wajahnya yang cantik masih tampak terlihat walau raut mukanya tampak pucat menahan rasa sakit yang amat sangat. Setitik air mata keluar dari sudut kelopak matanya yang sayu, ketika aku ingin mengajaknya bicara. Kupegang tangannya yang terasa begitu dingin. Sejenak kemudian ia mulai terkulai dan tertidur akibat dari obat yang diresepkan oleh tim dokter dari Sidney. Di depan garbarata seorang pramugari cantik menerima gadis yang duduk di kursi yang kudorong.

Sebulan kemudian, beberaapa hari setelah ulangtahunnya ke 11, aku, Si Marni, bersama sekitar 12 karyawati sebuah pabrik mengadakan ibadat di sebuah krematorium untuk mengkremasi gadis 11 tahun tersebut. Seperti prediksi tim dokter dari sebuah rumah sakit di Sidney bahwa umurnya tinggal 3 bulan saja.

Hampir setahun, aku tak bisa menerima dan melupakan bagaimana seorang anak yang seharusnya dalam dekapan hangat orangtuanya apalagi dalam keadaan sakit parah harus berangkat sendiri menuju sebuah rumah sakit di Sidney. Bahkan pada saat pengkremasian tanpa pendampingan orangtua.

[caption id="attachment_309433" align="aligncenter" width="450" caption="Sumbermanjing, Malang...."]

1401698508273644591
1401698508273644591
[/caption]

[caption id="attachment_309434" align="aligncenter" width="450" caption="Jaipur, India...."]

14016985581089460641
14016985581089460641
[/caption]

14016987671510862041
14016987671510862041

0 0 0 0 0

Kisah pahit dan sedih di atas hanyalah salah satu kisah sedih yang dialami seorang anak yang harusnya hidup penuh kecerian dan kegembiraan bersama orangtuanya serta teman-temannya.

Kegemberiaan, keceriaan, dan kebahagiaan seorang anak bukanlah karena harta orangtua. Tetapi karena kesempatan yang harus diterimanya tanpa syarat. Sudahkah kita sebagai dewasa memberikan sekalipun mereka bukan darah daging kita?

1401698617222006311
1401698617222006311

India....

14016986861003384078
14016986861003384078
14016987251269233083
14016987251269233083

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun