Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Suku Tengger Tak Mengenal Kisah Pewayangan (Mahabarata dan Ramayana)

10 Juni 2014   02:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:28 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberhasilan Pandhawa mengalahkan Kurawa dan mengambil alih kembali Astinapura. Maka, Baratayudha sebagai perang saudara pun berakhir. Namun tidak serta merta kesesakan dan penderitaan di kedua belah pihak telah usai. Penderitaan yang dialami oleh para janda dan anak-anak korban perebutan kekuasaan di antara keluarga Kuru masih belum hilang.

Pandawa sebagai penguasa baru mempunyai tanggungjawab besar untuk mensejahterakan seluruh rakyat Astinapura merasa terbebani. Yudistira sebagai saudara tertua menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Parikesit cucu Arjuna. Selanjutnya Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, serta Drupadi berniat kembali ke swargaloka.

1402316819417892030
1402316819417892030

14023169631895336694
14023169631895336694

Dalam pandangan budaya Jawa, perjalanan menuju swargaloka harus melalui atau mendaki ke puncak Gunung Semeru. Suatu perjalanan yang sulit dan penuh tantangan, sehingga satu persatu keluarga Pandawa gugur di tengah perjalanan kecuali Yudhistira yang berhasil menggapai puncak Mahameru diiringi seekor anjing hitam. Memang pada akhirnya dengan ‘rayuan’ Yudhistira berhasil meluluhkan para dewa untuk menerima Drupadi, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa masuk swargaloka.

Penyerahan tampuk kekuasaan Astinapura kepada Parikesit dan perjalanan menuju swargaloka, oleh masyarakat Suku Tengger dianggap berakhirnya kisah Mahabarata yang penuh intrik dan perseteruan yang tak seharusnya terjadi di antara Keluarga Kuru.

Maka, daerah-daerah atau desa-desa yang dilewati oleh Yudhistira dan Drupadi, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa dianggap daerah suci dan dekat dengan swargaloka tempat para dewa bersemayam tempat kedamaian harus dipertahankan. Untuk itu kisah pewayangan ( Mahabarata dan Ramayana ) dianggap sudah berakhir dan tak ada lagi serta tak pantas untuk dipentaskan sekalipun hanya sebagai sebuah pertunjukan. Masyarakat Suku Tengger menganggap desa dan wilayah mereka tempat sebagai tempat para dewa berada sebelum mencapai puncak Mahameru.

Seni bukanlah sekedar sebuah pementasan sebuah hasil karya budaya, namun di dalamnya menggambarkan sebuah pandangan hidup atau filosofi kearifan lokal masyarakat setempat. Pandangan hidup yang selalu mengutamakan kebenaran, kedamaian, dan kesucian haruslah senantiasa dipertahankan oleh masyarakat Suku Tengger.

14023170061205614115
14023170061205614115

[caption id="attachment_310459" align="aligncenter" width="450" caption="Lereng Semeru tempat menuju swargaloka, tertutup awan menjelang sore hari. "]

1402317045122956512
1402317045122956512
[/caption]

0

0

Baca juga:

http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/30/mengapa-wanita-ingin-selingkuh-529873.html

http://filsafat.kompasiana.com/2012/11/18/barata-yudha-pandhawa-terbuai-kekuasaan-509993.html

dan tulisan saya lainnya tentang wayang. Trims

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun