Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mereka Anak-anak Kita, Jangan Dibuang!

11 Juni 2014   23:42 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:10 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_310711" align="aligncenter" width="450" caption="Seorang anggota reserse dan dokumentasi dari Kepolisian sedang memeriksa kardus berisi bayi yang dibuang oleh orang dewasa."][/caption]

Kadang sulit dimengerti dengan akal sehat apalagi dengan hati nurani. Bagaimana orangtua apalagi seorang ibu mau membuang darah dagingnya sendiri. Toh, kenyataan ini sering terjadi di sekitar kita. Entah itu darah daging yang masih berupa janin di dalam rahim yang sengaja digugurkan karena kehamilan yang tak dikehendaki, atau bayi yang telah dilahirkan lalu dicampakkan begitu saja. Bayi yang masih merah ditaruh di depan sebuah rumahsakit, panti asuhan, rumah, pasar, pos kamling, pinggir jalan, bahkan di tengah kuburan. Bagi bayi yang masih mujur, ditemukan dalam keadaan masih hidup lalu diasuh oleh orang lain. Bagi yang bernasib malang, akan meregang nyawa tanpa sentuhan kasih sayang orang-orang dewasa yang seharusnya bertanggungjawab.

Seorang wanita muda, hanya menahan tangis dengan wajah yang begitu kusut serta seperti tercekik kala menjawab pertanyaan mengapa ia membuang ( dan membunuh ) darah dagingnya sendiri. Tampak penyesalan yang begitu mendalam saat ia menceritakan kisah pedihnya.

Ia hanyalah salah satu dari sekian banyak wanita muda yang terjebak dalam keindahan dan kemegahan semu sebuah kota yang gemerlap namun ompong akan kedamaian. Berbekal ijazah SMK dan sedikit ketrampilan dan pengetahuan akan kerasnya hidup di kota, ia datang dari desa menjadi seorang SPG di sebuah komplek pertokoan modern. Dengan gaji pas-pasan, memaksanya hidup dengan menyewa sebuah kamar sempit bersama teman-temannya di daerah urban tanpa control yang memadai.

Kehidupan kota yang demikian egois membuat ia merasa tersingkirkan dari kegayengan dan ketentraman penuh kekerabatan di desa. Dunianya kini hanyalah gemerlapnya lampu pertokoan dan taman kota serta pengapnya kamar sempit serta hape yang menjadi teman setianya.

Sebagai seorang gadis yang sedang mekar cantik yang membutuhkan teman, ia pun tergoda rayuan gombal lelaki yang dikenalnya di komplek pertokoan. Bujuk rayu dewa cinta nafsu birahi membawanya dalam perbuatan yang tak bertanggung jawab.

0 0 0 0 0

14024793161989016678
14024793161989016678

Kisah di atas, bukan hanya terjadi atas diri seorang karyawati toko, SPG, pembantu rumah tangga, dan PSK saja. Tetapi juga pada seorang mahasiswi yang notabene adalah seorang yang telah mengenal pendidikan dan bahkan seorang wanita yang telah berkeluarga.

Tak dipungkiri kisah-kisah di atas terjadi akibat salah dalam pendidikan yang ada dalam masyarakat kita. Selama ini, sekolah dianggap sebagai tempat satu-satunya anak dalam belajar. Kebanyakan orangtua menyerahkan pendidikan anak-anaknya hanya kepada sekolah. Sehingga beban sekolah dan guru menjadi begitu berat. Munculnya sekolah-sekolah fullday, seakan memberi gambaran akan lepas tangannya pendidikan dan pengasuhan orangtua akan putra-putrinya.

Sebaliknya pendidikan agama dan budi pekerti hanya mengajarkan sebatas pengetahuan ini salah, itu benar, ini haram, itu halal, ini dosa, itu membawah berkah, dan kotbah-kotbah kosong tanpa keteladanan yang benar.

Perlunya pendidikan seksualitas.

Sungguh amat memprihatinkan, bahwa pendidikan seksualitas selama ini hanya dipahami sebagai ‘pengetahuan bagaimana berhubungan sex atau intim antara seorang wanita dan pria’ sehingga menjadi sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Pendidikan seksualitas jarang dipahami sebagai hubungan kasih antara seorang wanita dan pria untuk mencapai kebahagian bersama dalam kasih Allah SWT sebagai Penciptanya.

Orangtua sebagai pendidik pertama bagi putra-putrinya ternyata tak pernah menanamkan arti hubungan kasih suami istri yang murni. Budaya dan pandangan masyarakat yang menganggap bahwa seorang anak akan mengerti dengan sendirinya secara alami kelak sudah besar membuat anak mencari informasi dari sumber yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga kaum muda atau anak-anak hanya menganggap pendidikan seksualitas hanya sebatas pengetahuan cinta birahi.

Sedangkan pihak sekolah pun masih bingung harus mencari metode yang tepat dalam melaksanakan pendidikan seksualitas sesuai dengan kemajemukan latar belakang siswa dan orangtuanya.

[caption id="attachment_310716" align="aligncenter" width="450" caption="Ya, Tuhan ampunilah mereka yang mencampakkannya....."]

1402479615283522840
1402479615283522840
[/caption]

-

-

foto-foto dhewe

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun