Saat sedang menjelajah tepi hutan Gunung Kawi bersama keluarga kulihat lima orang pemuda pencari rumput duduk santai istirahat di tepi jalanan setapak. Sejenak aku istirahat, duduk dan berbincang dengan mereka. Kedua putriku ikut nimbrung sambil serta sekali-sekali bertanya tentang kehidupan mereka. Dari mulut mereka tercium aroma minuman keras khas orang pinggiran.
“ Untuk menghilangkan dingin atau hiburan? “ tanyaku sekenanya.
Seorang pemuda tanggung menjawab enteng “ Menghilangkan sumpek Pak!”
“ Sumpek? Kenapa kok sumpek?”
“ Tiap hari kok cari rumput. Bosen. Gak pernah main-main.” Aku cuma tersenyum saja mendengar pengakuannya.
“ Boleh ikut jalan-jalan Pak?” pintanya dengan Bahasa Jawa.
“ Aku mau ke coban. Kamu kan sering ke sana kan...?”
“ Iya...tapi tak pernah dengan Emak dan Bapak.”
0 0 0 0 0
Jam enam pagi di tepi hutan lereng Gunung Bromo, dua orang putri dan kerabatnya tampak begitu gembira membantu orangtuanya ikut bekerja sebagai buruh pemetik bunga cabe. Sebuah hape terselip di sakunya yang memutar lagu-lagu dangdut dan campursari. Tak tampak rasa canggung di antara mereka ketika kami ajak omong-omong. Dari pembicaraan, kedua putri tersebut baru berusia sekitar lima belas tahun dan baru saja lulus SMP.
“ Buat apa melanjutkan sekolah. Toh lulus SMA atau SMK nanti cuma jadi buruh,” jawab ayahnya.
“ Jadi buruh tani kerja mulai jam setengah tujuh sampai jam dua dibayar dua puluh tujuh ribu. Lulus SMA dan kerja di toko atau pabrik sampai jam empat sore dibayar tiga puluh ribu tempatnya jauh lagi....” imbuh ibunya.
Mangan ora mangan yen kumpul. Urip sakmadya bakal mulya, lanjutnya. Artinya makan atau tidak yang penting berkumpul bersama keluarga. Hidup apa adanya akan bahagia.
0 0 0 0 0
Jam sepuluh pagi di lereng Semeru, sebuah keluarga tampak asyik menyiangi tanaman kentang yang begitu subur. Ayah, ibu, dan anak-anaknya tampak begitu bahagia. Sang ayah mencangkul sambil ngura-ura lagu dolanan. Terkadang muncul guyonan spontan di antara mereka yang membuat suasana semakin gayeng. Memang Si Kecil terkadang juga merengek jengkel karena tak ada teman yang sebaya dan merasa jenuh hanya bermain di ladang.
0 0 0 0 0
Permasalahan hubungan anak dan orangtua selama ini sering dianggap hanya terjadi pada keluarga yang tinggal di perkotaan. Entah itu masyarakat urban atau dari kalangan menengah dan atas. Dimana hubungan anak dan orangtua tampaknya biasa-biasa saja bahkan harmonis ternyata anak sering merasa terabaikan. Faktor ekonomi sering menjadi penghalang hubungan yang lebih akrab. Ekonomi disini bukan berarti bahwa hanya mereka yang harus bekerja keras untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi juga bagi mereka yang hidup berkelimpahan, namun orangtua tak pernah bisa meninggalkan pekerjaan di saat sebenarnya harus berada di sisi anak. Tanggungjawab profesionalisme pekerjaan dan kedudukan sering menyita banyak waktu dan keluarga atau tepatnya anak-anak menjadi tersisihkan.
Jika demikian hubungan anak dan orangtua hanya terjadi secara vertikal, dimana orangtua hanya menjadi seseorang yang harus dipatuhi dan dihormat. Hubungan secara horisontal, dimana orangtua tak bisa menjadi sahabat untuk berkeluh kesah akan setiap permasalahan yang dihadapinya di lingkungan bermain dan belajar mereka. Bisa jadi anak enggan dan bahkan takut untuk mencerita segala pengalamannya yang dihadapinya, karena melihat orangtuanya yang pulang dengan wajah kuyuh serta senyuman terpaksa setelah bekerja seharian.Keluh kesah anak hanya tersalurkan kepada teman-temannya terdekat yang suatu saat bisa melupakan dan berbalik menjadi sosok yang tidak disenangi. Keluh kesah yang tersampaikan pun menjadi bahan ejekan dan olokan di antara mereka.
Dua kisah yang bertolak belakang di atas, walau di tempat yang berbeda namun di situasi dan kondisi yang hampir sama menunjukkan betapa kehadiran orangtua dalam kebersamaan amat dibutuhkan oleh semua anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H