Malang sebagai salah satu daerah yang mempunyai warisan seni tradisional khususnya seni tari Topeng Malang memang menjadi salah satu aset kebudayaan nasional. Topeng Malang sebagai seni memang bukan sekedar sebuah tari dan seni pahat ( topeng ) tetapi juga mempunyai nilai historis dalam perjalanannya menjadi sebuah kearifan lokal dari sebuah senibudaya kisah-kisah panji peninggalan Kedhiri.
Ada empat daerah yang cukup berpengaruh dalam perkembangan seni Topeng Malang, yakni Kedung Monggo ( Pakisaji ),Kromengan ( Gunung Kawi ), Tulusayu atau Tulus Besar ( Tumpang ), dan Jabung ( Tumpang ). Semua berada di Kabupaten Malang. Dari keempat wilayah ini, yang mempunyai padepokan sebagai tempat pengembangan hanyalah Desa Kedung Monggo dengan Padepokan Asmoro Bangun yang dipandegani oleh Mas Handoyo sebagai keturunan langsung dari Mbah Karimun, dan Desa Tulusayu dengan Padepokan Seni Mangun Dharmo yang dipandegani oleh Ki Soleh Adi Pramono sebagai keturunan Mbah Mangun Dharmo. Sedangkan, wilayah Jabung dan Kromengan belum mempunyai sebuah padepokan kecuali beberapa sanggar tari yang dikelola oleh para seniman tari yang sebelumnya pernah menjadi cantrik ( nyantrik: belajar menari ) di padepokan tersebut. Bahkan sebagai daerah yang dahulu pernah melahirkan seniman tari dan topeng telah ‘hancur’ sejak 35 tahun yang lalu tanpa adanya regenerasi.
Di wilayah Kota Malang, jumlah sanggar menurut catatan penulis ada sekitar 22 buah dalam keadaan semaput alias hidup segan mati tak mau dengan alasan klasik salah pengelolaan dan keuangan. Namun gaung kebesaran nama di masa lalu masih menggema di antaranya Sanggar Seni Laras Budi Wanita, Senaputra, dan Panca Budhi ( pada tahun 60an anggotanya lebih banyak keturunan warga Tionghwa ).
Padepokan Seni Asmoro Bangun di Kedung Monggo hingga saat ini masih eksis dan sering menjadi tujuan wisata untuk melihat langsung pertunjukan tari topeng dan pembuatan topeng. Hanya saja padepokan ini belum mempunyai sebuah tempat pertunjukan yang layak. Keberhasilan dalam menjalin komunikasi dengan semua pihak, padepokan ini bisa mempertahankan keberadaannya. Apalagi sejak kunjungan Presiden Suharto pada th 78 dan Bu Tien memborong beberapa topeng untuk koleksi. Padepokan ini juga sering diliput oleh media massa.
Padepokan Seni Mangun Dharmo pada akhir 80an dan awal 2000an namanya sempat melambung tinggi dan menjadi perhatian para budayawan, seniman, dan pemerhati seni dan tari. Perkawinan antara Mas Sholeh selaku pengelola padepokan dengan Elizabeth Kareen ( yang bergati nama menjadi Elizabeth Sekar Arum ) semakin mengkokohkan dan mengharumkan sebagai padepokan yang berhasil mempertahankan dan mengembangkan seni tari. Pada tahun 2004 Desa Tulus Ayu pun dijadikan sebagai Desa Wisata dan Budaya oleh pemerintah Kabupaten Malang. Padepokan ini semakin terkenal di manca negara dengan segala upaya Elisabeth Sekar Arum mengenalkan Tari Topeng Malang di perguruan tinggi-perguruan tinggi dan LSM di negeri manca seperti Belanda, Perancis, Jerman, Australia, dan Amerika serta Jepang. Apalagi Elisabeth Sekar Arum bisa menjadi sinden yang bagus dan sering tampil di acara resmi, sehingga dukungan keuangan dari ‘presentasi’ ElisabetSekar Arum dapat menunjang keberadaan padepokan ini. Bahkan, beberapa cantriknya telah disekolahkan di ISI Surakarta dan menjadi seniman handal di Malang serta sering mengadakan pagelaran.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Perpisahan Mas Sholeh dan Elizabeth Sekar Arum berimbas pada keuangan dan pada akhirnya membuat padepokan ini ‘klenger dan mati suri’ Ditariknya seperangkat gamelan ( perunggu ) oleh Elizabeth Sekar Arum semakin menenggelamkan nama besar padepokan ini. Kunjungan wisatawan dan pelajar atau mahasiswamanca negara yang ingin nyantrik pun turun drastis.
Membangkitkan kembali Padepokan Seni Mangun Darmo
Perbedaan pandangan antara para seniman, pecinta, dan pemerhati Tari Topeng Malang ( gaya Tumpang ) dalam upaya membangkitkan kembali keberadaan padepokan ini sering menjadi kendala. Bahkan untuk sekedar mempertahankan ‘gedung ‘ padepokan yang mulai dimakan waktu cukup kesulitan. Para seniman tari di sekitar Tumpang pun yang berharap lebih sejahtera hidupnya dari sekedar menjadi seniman yang pas-pasan sudah enggan datang. Wal hasil hanya seniman yang tak mempunyai pekerjaan tetap ( seperti satpam, petani, atau kaum buruh ) dan seniman tua yang masih berupaya bertahan.
Sebagai pecinta dan pemerhati seni tradisional serta pernah menjadi penari, penulis diminta urun rembug, tenaga, dan ( mencari ) dana untuk membangkitkan kembali padepokan ini. Bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, benturan-benturan idealisme harus dihadapi dengan realistis akan kehidupan. Jer basuki mawa bea. Segala upaya dan karya membutuhkan pengorbanan dan dana. Haruskah para seniman yang telah mengorbankan waktu dan tenaga masih harus menyokong dana yang tak sedikit?
Menjual hasil karya seni dan madu para seniman pada saat pagelaran.
Upaya mengadakan pertunjukan yang mengangkat kisah-kisah panji dan sejarah atau cikal bakal Kota Malang atau pertunjukan wayang kulitdan ruwatan dengan menampilkan para cantrik dan seniman, bahkan seniman manca negara beberapa kali kami lakukan.
Niat baik tak selamanya berjalan lancar. Dukungan moril dan spirit dari para seniman serta pejabat tanpa dukungan dana tentu membuat segala upaya menjadi tertatih-tatih. Pertengahan 2013 hingga 2014 kami melakukan pertunjukan setiap minggu ke dua. Gayung tak pernah bersambut menyegarkan, sepi penonton dan dukungan dana yang kami harapkan dari pengusaha hanya menjadi angan-angan. Kami tak pernah putus asa dan terus berusaha.
Penulis sendiri selaku guru sekolah dasar yang kadang merangkap petani dan tukang poto serta pemandu wisata sering mendekati para usaha ‘tour and travel’ untuk mengajak para wisatawan manca negara untuk melihat penampilan para cantrik Padepokan Seni Mangun Dharmo. Namun para wisatawan yang menuju Gunung Bromo dan Semeru kebanyakan adalah kaum backpacker atau wisatawan kelas sandal japit yang kurang tertarik melihat seni selain berpetualang di alam bebas.
Hidup memang perjuangan. Putus asa tak ada di benak kami, sekalipun harus tersengal-sengal menahan napas untuk sekedar bertahan menghidupkan padepokan agar seni Topeng Malang( gaya Tumpang )tetap eksis harus dijalani.
Membangkitkan kembali padepokan ini bukan sekedar membangun sebuah lembaga tetapi terus menjaga keberadaan seni tari tradisional dan memberi wadah bagi mereka yang mencintainya. Penulis memang pecinta dan pemerhati seni tradisonal yang terus berupaya dan mempengaruhi siapa pun untuk mencintai seni tradisional. Mendekati dan menyokong untuk terus menampilkan diri sebagai tanda cinta budaya nasional. Tetapi penulis bukanlah juru selamat yang harus bekerja sendiri tetapi berjuang dan berkarya bersama siapapun yang peduli. Mengetuk dan terus mengetuk untuk mendapat perhatian demi bertahannya sebuah seni budaya tradisional yang sarat akan pesan moral dari serbuan budaya barat kontemporer yang lebih menekankan akan kebebasan daripada nilai-nilai penuh makna.
Salam budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H