Oalah Gustiiiiii... Lha kemaren-kemaren di kantor sampeyan itu ngapain aja???
Karena aku diam saja, si Bapak berakrab-akrab dengan Pak Bos yang seruangan denganku. Malah sempat-sempatnya menyulut rokok sambil mengajak ngobrol. Pengalaman bekerja di kantorku mengajarkan, bila tamu sudah menyulut rokok, pasti betah berlama-lama untuk ngobrol.
Untung Pak Bos tidak meladeni ajakan halus si Bapak untuk mengobrol, sehingga sebentar kemudian dia pamit.
Aku jadi ingat hierarki kebutuhan Maslow yang pernah aku pelajari dulu, dan yang sampai sekarang masih aku percayai. Bahwa manusia itu memiliki kebutuhan yang disusun secara bertingkat seperti piramida dan terdiri dari physilogical needs (kebutuhan paling mendasar, terdiri dari makan, minum, bernapas, dan lain-lain), safety needs (di atas physiological needs, terdiri dari keamanan diri, keamanan atas pekerjaan, dan lain-lain), love and belonging (di atas safety needs, terdiri dari kasih sayang, keluarga, dan lain-lain), esteem (di atas love and belonging, terdiri dari rasa percaya diri, prestasi, dan lain-lain), dan self-actualization (di atas esteem, terdiri dari kreativitas, spontanitas, dan lain-lain).
Bila dilihat dari kacamata Kakek Maslow, si Bapak ini jelas sudah lewat kebutuhan fisiologis, safety, maupun love and belonging. Berarti dia tinggal memenuhi esteem dan self-actualization saja. Tapi dengan mangkirnya dia dari pekerjaan, berarti dalam dirinya sendiri tidak ada keinginan untuk maju. Tidak ada keinginan untuk menunjukkan prestasi. Tidak ada keinginan untuk mencapai aktualisasi diri, mencapai "dirinya" yang sejati.
Lalu kalau seperti itu, buat apa dia masuk kerja? Bikin cemar nama baik kantornya saja. Lebih jauh lagi, bikin cemar profesi kami semua.
Aku selalu tak habis pikir pada orang-orang seperti ini. Tidak habis pikir bagaimana ada orang yang datang ke kantor tapi tidak melakukan apa-apa. Tidak habis pikir juga kenapa orang seperti ini ditugaskan untuk jadi bagian tim kami sehingga menghambat kerja tim. Konon kabarnya, di kantornya pun dia malas sehingga sering tidak diberi pekerjaan. Tapi dia berkoar-koar di luaran, seakan-akan dia memang sengaja tidak diberi pekerjaan karena banyak yang tidak suka dengan kepintarannya.
Huh... Siapa yang tahu dia pintar beneran apa tidak, bila diberi pekerjaan sederhana saja tidak mau mengerjakan?
Ah... lupakan Kakek Maslow. Aku melantur terlalu jauh. Aku juga percaya si Bapak tidak pernah mendengar tentang Maslow.
In the end, aku masih percaya, berkah atau tidaknya gaji yang kita makan tergantung dari seberapa besar upaya kita dalam bekerja. Gaji boleh sama besar (bahkan lebih), tapi keberkahannya pasti beda.
Ayo kerja lagi !!