Mohon tunggu...
Susi Diah Hardaniati
Susi Diah Hardaniati Mohon Tunggu... Lainnya - IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

life is nothing but a daring adventure - helen keller

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fiksicinta - Hari Ini Istimewa Bagiku

18 Februari 2014   01:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini istimewa bagiku. Hari peringatan kematianku. Hari di mana seharusnya orang tua Kang Kardi datang untuk melamarku.

Tapi rencana tinggal rencana. Pagi itu, lindu meluluhlantakkan kampung kami, rumah kami, beserta aku di dalamnya.

Bapak dan Simbok berduka. Warno, adikku, berduka. Kang Kardi juga berduka, tapi kemudian aku melihat dia menikah dengan Paini, teman sepermainanku.

Simbok jadi sering menangis di pawon. Mungkin karena itu pawon tempatku minum teh ketika lindu itu terjadi, dibongkar dan dipindah ke sisi rumah yang lain. Para pekerja berseliweran mengangkut kayu dan batu, tidak menyadari aku ada di antara mereka. "Jangan! Jangan dibongkar!" seruku, tapi tak ada yang mendengar. Pawon itu tempat kesukaanku melewatkan waktu di pagi hari sebelum matahari terbit, sebelum aku menjerang air di atas tungku dan menyapu pekarangan. Tapi ketika kuingat air mata Simbok, hatiku luluh. Sama seperti Bapak, aku juga ingin Simbok berhenti menangisi aku.

Bagi keluargaku, aku menjadi sumber kesedihan yang dalam, yang kemudian menyusut menjadi kenangan. Hidup berjalan terus tanpa bisa kucegah, dan aku tak bisa lagi menjadi bagian darinya.

Aku menyaksikan tahun-tahun melewati rumah kami, peninggalan Simbah untuk Bapak. Aku menyaksikan Warno tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang tampan, lalu berkeluarga dan beranak-cucu. Aku menyaksikan Bapak dan Simbok beranjak tua, lalu akhirnya meninggal. Rasanya tak adil. Entah bagaimana, mereka begitu saja masuk ke alam baka. Meninggalkan aku sendirian di rumah kami.

Rumah kami pun berubah. Cucu Warno merombak rumah kami hingga aku tak akan bisa mengenalinya lagi seandainya tidak "tinggal" di sini. Dinding gedhek sudah tidak ada lagi. Lantainya berubin licin. Jendela berdaun kayu diganti jendela kaca bertirai. Pawon lama tempatku minum teh ketika hari naas itu terjadi, menjadi kamar tidur.

Aku mendengar dia menyebut-nyebut "tempat kos". Lalu datanglah beberapa laki-laki asing ke dalam rumah kami. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di kota yang letaknya tidak jauh dari kampung kami. Mereka menyewa kamar-kamar di rumah kami. Ada yang menempati bekas kamar Bapak dan Simbok. Ada yang menempati kamar Warno. Ada yang menempati kamarku.

Kamar terakhir, kamar yang dulunya adalah pawonku, ditempati oleh Supardi. Aku memanggilnya Kang Pardi, walaupun dia tak tahu. Kemiripannya dengan Kang Kardi membuatku berdebar-debar, seandainya jantungku masih ada denyutnya. Senyumnya adalah senyum Kang Kardi, senyum tipis yang tak pernah sampai menampakkkan gigi. Pandangan matanya kadang teduh, kadang tajam, kadang berbinar ceria cenderung usil. Tubuhnya liat dengan kulit kecoklatan, tubuh laki-laki yang terbiasa bekerja di udara terbuka.

Satu lagi yang membuat Kang Pardi istimewa bagiku: dia juga suka menikmati segelas teh hangat menjelang fajar, seperti aku dulu. Segelas teh hangat yang mengawali hari, sebelum Kang Pardi beranjak ke dunianya yang sibuk, dunia yang tidak pernah bisa aku pahami.

"Sugeng enjang, Kang. Pagi ini indah sekali, ya," bisikku di telinganya setiap pagi, ketika kami berdua berdiri berdampingan di ambang pintu memandangi langit yang pelan-pelan berubah warna. Memandangi kabut yang pelan-pelan terangkat dari tanah. Mendengarkan suara-suara alam yang mulai terjaga. Begitu damai, hampir-hampir suci, sehingga aku tak berani berkata keras-keras walaupun Kang Pardi takkan mendengar.

Berdiri berdampingan dengan Kang Pardi selalu mengalihkan aku dari fajar yang menjelang. Setiap pagi, aku memandangi ikal rambutnya dengan kerinduan untuk merasakannya di sela-sela jariku. Setiap pagi aku berharap pandangan teduh itu tertuju padaku. Setiap pagi aku berharap akulah yang membuatkan segelas teh yang tidak hanya menghangatkan jari-jarinya, namun juga hatinya. Setiap pagi aku berharap bisa mengucapkan "hati-hati di jalan" setiap kali ia berangkat bekerja. Setiap pagi aku berharap bisa berhenti berharap dan berangan-angan tentang Kang Pardi dan aku, tapi aku tak bisa.

Hari ini istimewa bagiku. Hari peringatan kematianku. Hari ini juga hari terakhir Kang Pardi menempati kamarnya. Besok dia pindah ke tempat lain. Surabaya, kudengar dia berkata pada cucu Warno. Barang-barangnya sudah dikirim ke tempatnya yang baru, sehingga kamarnya nyaris kosong. Sebuah tas kain berdiri di sudut, berisi sisa pakaian Kang Pardi.

"Sugeng enjang, Kang. Pagi ini indah sekali, ya," sapaku lembut seperti biasa ketika Kang Pardi membuat teh hangat di pawon, lalu duduk di hadapannya. Ini sapaan pagi terakhir yang bisa kuucapkan padanya, sebelum dia pergi dari rumah ini, pergi dari duniaku.

Pandanganku berkabut. Ada nyeri di tempat jantungku pernah berada. "Jangan pergi, ya Kang..." pintaku. Walaupun sia-sia, aku  tak bisa menahan diri untuk mengatakannya. Bila dia pergi, lalu aku bagaimana? Aku selalu tahu, suatu ketika nanti Kang Pardi akan meninggalkan rumah ini. Tapi tidak sekarang. Jangan sekarang.

Tangan Kang Pardi berhenti sejenak. Matanya menatap ke arahku, seakan-akan dia bisa melihatku. Dahinya sedikit berkerut, lalu kembali mengaduk gula dalam gelas tehnya. Aku berharap dia mendengarku. Aku berharap dia merindukan aku, tapi bisakah Kang Pardi merindukan sesuatu yang tidak pernah ditemuinya?

Setelah menyesap habis tehnya, Kang Pardi membersihkan sepeda motor dinasnya. Setelah mandi dan sarapan seadanya di pawon, Kang Pardi berangkat bekerja. Aku tahu seharusnya aku berdoa supaya dia baik-baik saja di Surabaya, tapi aku tak bisa. Sebagian diriku berharap dia tidak pergi.

Karena itu aku tak percaya ketika melihat Kang Pardi berjalan melintasi pekarangan. Matahari baru saja melewati titik tertingginya, jadi biasanya jam segini Kang Pardi belum pulang. Ada apa? Apa dia batal pergi? Atau ada yang ketinggalan?

Ketika melintas di hadapanku, Kang Pardi melayangkan senyum sambil berkata, "Nuwun sewu, Mbak..."

Seandainya bisa, aku pasti sudah semaput karena kaget. Nuwun sewu? Kang Pardi bilang "Nuwun sewu"?

Sambil ternganga, kulihat Kang Pardi berjalan lurus ke kamarnya. Dengan tergopoh-gopoh kujejeri langkahnya. "Kang Pardi bisa melihat saya?" tanyaku terbata-bata.

Senyum terkulum di bibir Kang Pardi ketika ia mengangguk. Matanya bersinar-sinar ketika memandangku, ceria campur usil.

"Kok bisa?" tanyaku tolol.

"Aku mati keserempet truk tadi pagi."

Pawon                        = dapuri ini

Lindu                           = gempa bumi

Gedhek                      = anyaman bambu untuk dinding rumah.

Sugeng enjang          = selamat pagi

Nuwun sewu               = permisi

Kang/kakang             = panggilan untuk laki-laki yang lebih tua/dituakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun