Judul buku : Replika Violin Stradivari, Sebuah Antologi Cerpen
Jumlah halaman : 211 + vi
Penulis : Lizz
Editor : Lizz
Desain sampul : Bhre Wisanggeni
Penerbit : self publishing melalui Herya Media
ISBN : 978-602-70316-4-7
Sejak dulu saya berpendapat, menikmati buku baru serupa dengan menikmati hasil masakan seorang koki. Semua soal rasa, racikan yang pas, dan gairah harap-harap cemas untuk menikmati hidangan yang mungkin belum pernah dinikmati sebelumnya.
Pun begitu pula membaca buku ini. Genre "cinta-cintaan" sebenarnya tidak terlalu saya akrabi karena saya sering melabeli fiksi cinta sebagai fiksi yang too good to be true. Terlalu mengawang sehingga sulit dibayangkan bisa terjadi di dunia nyata. Bila dipadankan dengan makanan, fiksi dengan tema cinta serupa dengan gourmet food yang tak terjangkau oleh saya yang kelas "warteg" ini. Rasa yang terlalu canggih bagi lidah saya yang level orek tempe dan sambal lalapan ini.
Anggapan saya rontok berantakan setelah membaca buku ini. Benar isinya tentang cinta, namun cinta dalam pengertian seluas-luasnya. Tak semata tentang cinta yang berakhir bahagia, ada juga cinta yang membawa tawa, pengorbanan, kejutan, kepedihan, bahkan cinta dengan bumbu "ngeri-ngeri sedap".
Aneka ragam cinta yang ditawarkannya diikatnya dalam kecintaan sang "koki" pada seni, terutama seni musik dan seni tari. Kedua cabang kesenian itu bukan sekedar tempelan dalam kisah-kisah yang diramunya, namun memberi aroma yang tidak hanya memperkaya "rasa" cerita, namun juga menambah perbendaharaan pengetahuan penikmatnya.
Siapa sangka Tari Karonsih ternyata begitu intimnya?
Bahkan saya pun jadi menyesal tidak belajar menarikan tarian ini!
Buku "Replika Violin Stradivari" ini serupa meja prasmanan yang menampilkan kisah-kisah hasil racikan "koki" Lizz. Meja prasmanan dengan pilihan yang beragam namun sayangnya tidak semua kisah memiliki "cita rasa" yang jempolan. Beberapa kisah (seperti Karonsih, kesukaan saya) layak mendapat acungan jempol, sementara beberapa yang lain terasa datar saja. Beberapa kisah terasa berkesan karena adukan emosinya "dapet", sementara yang lain "kok segini aja".
Namun tetap saja kisah-kisah dengan bumbu yang "kurang nendang" itu tidak sampai mencemari kualitas suguhan "koki" Lizz secara keseluruhan. Malah membuat penikmatnya kian penasaran dengan sajian-sajian berikutnya.
Selanjutnya, kiranya lain kali "koki" Lizz bisa memilih lagi kisah-kisah yang hendak disuguhkan. Tentu, sebuah buku bukan hanya asal penuh asal tebal, sebagaimana meja prasmanan tidak hanya sekedar asal banyak pilihan.
Jujur saja, sebagai penikmat, saya sudah tak sabar menanti kisah-kisah lain dari "koki" Lizz. Saya sudah "lapar" lagi. Porsi kisah yang saya nikmati masih terlalu sedikit. Mau dong, nambah lagi...
Sebuah buku, sebuah meja prasmanan.
Hanya dari "koki" Lizz.
Mari, kita nikmati bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H