dr. Arief Rahman, MARS
Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Universitas Hangtuah Surabaya
Dokter Umum RSIA Permata Hati
Melalui Surat Edaran Nomor 24 Tahun 2022 Tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang di keluarkan pada 25 Agustus 2022, pemerintah memutuskan penghapusan aturan peraturan untuk menunjukkan hasil pemeriksaan negative dari tes PCR kepada masyarakat yang akan melakukan perjalan dalam negeri.Â
Dengan penghapusan aturan tersebut maka masyarakat diwajibkan melakukan vaksinasi booster atau dosis ketiga dimana pemberian vaksin booster secara gratis ini telah dilakukan sejak 12 Januari 2022. Selain penghapusan aturan pemeriksaan PCR untuk perjalanan dalam negeri, beberapa kegiatan lainnya juga mengharuskan sudah dilakukannya booster vaksin ketiga. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan capaian vaksinasi dosis ketiga yang angka capaiannya masih belum cukup tinggi jika dibandingkan dengan capaian dosis pertama dan kedua.
Tujuan pemberian vaksinasi dosis ketiga ini dikatakan oleh Menteri Kesehatan Indonesia adalah sebagai salah satu upaya kembali meningkatkan imunitas masyarakat setelah pemberian dua dosis vaksin wajib sebelumnya mengingat pandemi Covid-19 yang belum selesai dimana semakin banyak bentuk varian virus yang ditemukan karena adanya mutasi dari virus itu sendiri. Namun kebanyakan masyarakat merasa tidak perlu melakukan booster vaksin ketiga, terutama dikarenakan takut dengan efek samping yang mungkin timbul akibat vaksin Covid-19. Masyarakat memilki traumatisnya tersendiri dengan efek samping dari vaksin Covid-19 dari dua dosis sebelumnya.Â
Pada dua dosis pertama dan kedua masyarakat diwajibkan untuk melakukan vaksinasi dengan banyak aturan pemerintah pusat maupun peraturan daerah yang dibuat khusus untuk masyarakat agar mau melakukan vaksinasi Covid-19 ini, seperti untuk masyarakat yang ingin mengambil bantuan langsung tunai atau BLT harus menunjukkan bukti telah melakukan vaksin Covid-19. Aturan ini pun di beberapa daerah juga ditetapkan untuk vaksinasi booster atau dosis ketiga dimana beberapa aturan dibuat untuk secara tidak langsung 'mewajibkan' masyarakat untuk melakukan vaksinasi hingga dosis ketiga. Hal ini kemudian banyak menimbulkan pertanyaan pada masyarakat mengenai vaksinasi Covid-19 ini sebenarnya adalah bentuk hak masyarakat untuk kesehatan atau suatu kewajiban kepada negara?
Dengan berpegang teguh pada science dan ilmu pengetahuan, vaksin merupakan sebuah instrument yang sifatnya vital dan krusial untuk melindungi warga negara. Dampaknya, Presiden Republik Indonesia yakni Jokowidodo menyatakan bahwa vaksin covid-19 gratis dan menjadi bagian dari fasilitas kesehatan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021. Selanjutnya sejak gerakan vaksin mulai, presiden juga melakukan gerakan 2 juta vaksin dalam sehari. Disatu sisi, pemerintah juga memiliki kewajiban utama untuk memenuhi hak kesehatan warga negaranya. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum salus populi suprema lex dimana keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Tanggung jawab keselamatan ini diwujudkan dengan pemenuhan hak atas kesehatan yang telah dinyatakan dalam UUD 1945 pada pasal 28 H ayat (1). Artinya, Indonesia telah mengakui, berjanji, dan bertanggungjawab untuk memenuhi hak setiap masyarakat dalam pemenuhan hak atas kesehatan.
Penanganan virus Covid-19 dengan cara vaksinisasi yang menjadi pro dan kontra dikalangan masyarakat ini menjadikan banyaknya aturan-aturan yang dibuat untuk memperkuat legalitas dari keberadaan vaksin tersebut. Namun sayangnya masih terdapat suatu celah yang dipakai oleh mereka yang menolak keberadaan vaksin dengan menggunakan dasar hukum Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya."
Dalam ketentuan pasal tersebut terlihat bahwa bisa dilakukannya suatu penolakan dengan tidak melakukan vaksin Covid-19. Namun berkenaan dengan hal tersebut masih terdapat peraturan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya melakukan vaksin, seperti halnya Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang menyatakan bahwa: "Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1.000.000 (satu juta rupiah)".
Berkaitan dengan jalannya proses vaksin ini, memang setiap orang mempunyai hak untuk memilih pelayanan kesehatan yang diinginkan, akan tetapi dengan melakukan penolakan terkait dengan vaksin yang diselenggarakan oleh pemerintah bukanlah suatu hal yang bisa dibenarkan. Hal tersebut didorong karena keadaan penyebaran dari virus Covid-19 ini sangat cepat, tidak menutup kemungkinan mereka yang bersikeras menolak bisa jadi merupakan orang yang pernah terpapar namun memiliki imun yang kuat sehingga tidak mengganggu kesehatannya.