Baleo[1]...
Baleo...
Baleo...
Pencarian panjang menembus batasan. Menantang badai. Melawan pusaran arus. Kala hujan diusir lantunan doa masa leva.[2] Tibalah saatnya koteklema[3]Â hendak diburu.
 Luasnya lautan tak kecutkan hati. Dalamnya samudera malah membakar semangat. Sebab, kami terlahir sebagai raja hamparan biru. Kami menuai di tengah pasang, memanen yang tidak pernah ditabur.
Semesta pemberi anugerah. Hingga hasil terbaik selalu berbuah dari usaha tanpa henti.
Bertarung menggempuri kehidupan adalah tabiat pasti.
Adalah pantang meraup lelah upaya sesama yang lain. Adalah tabu merenggut kebebasan saudara. Adalah dosa menjual anak manusia demi segepok tunai.Â
Teduhnya lautan jadi jiwa, ganasnya ombak adalah pertempuran hingga menutup mata.
 Akan sampai waktunya meninggalkan sengatan mentari. Akan datang saatnya hembusan udara tidak lagi berasa. Ayunan langkah kkian tak berdaya.
Raga akan letih menelusuri kehidupan. Saat itulah ada lambaian perpisahan dari jiwa untuk raga. Tapi, kehidupan tidak terbenam di sana. Persaudaraan malah kian membuncah. Lalu jiwa berarak menuju istana abadi. Di sanalah keterbatasan tunduk di hadapan ketidakterbatasannya.
Usi Amoet ma Apakaet, Apinat ma Aklahat, sium kai bi hai maten nok hai moni[4]
Tok tabua leko-leko bi hit maten nok hit moni. Nek mesef ansaof mese bi pah pinan ih, talan tia na bal bal [5]
 Kupang, 2013-2019
[1] Seruan ajakan menangkap Ikan Paus di Lamahera Lembata
  [4] Tuhan Pencipta, Penyelenggara, Yang Menyalakan, Yang Membakar, terimalah kami di saat hidup maupun mati
 [5] Berkumpul bersama saat hidup maupun mati, sehati sejiwa di tanah ini sampai selama-lamanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H